Postingan Rekomendasi

Tentang Penulis

Hai! Salam kenal kepada yang telah menyempatkan diri untuk membaca tulisan-tulisan random ini. Haricahayabulan merupakan nama pena saya. ...

Minggu, 28 Juni 2020

Stasiun yang Ditutup Sejak 2010

Langit memeluk tubuh senja penuh cinta sehingga membuat mata-mata manusia yang memandangnya turut serta jatuh cinta. Termasuk seorang perempuan yang iri dengan senja karena tidak ada langit untuknya. Ia berusaha untuk baik-baik saja dengan menarik senyum hangat di kedua sudut bibirnya yang tipis, lantas melipat tangan untuk memeluk dirinya sendiri. Tidak lagi memeluk kekasihnya. Sekelebat cerita tua tentang kekasihnya menari-nari di dalam kepalanya seperti berlomba-lomba menampilkan pertunjukan momen terbaiknya.

Mereka pernah saling menggenggam untuk berjalan bersama agar tidak saling meninggalkan di sepanjang pinggiran rel kereta api yang sejak tahun 2010 ditutup. Ia tidak pernah lagi dengar bising roda kereta yang saling bergesekan dengan rel setiap petang dan tidak pernah lagi melihat asap-asap gelap yang mengepul dari kepala kereta yang menyebabkan polusi udara.

Sekarang ia hanya berjalan sendiri sambil menggenggam angin dan memejamkan mata. Menyusuri jalanan di antara rel kereta kanan dan kiri dibantu kibas angin yang menyejukkan pori-pori. Wangi tubuh kekasihnya tidak lagi meracuni otak kirinya. Mereka pernah saling melepas di stasiun ini setelah akhirnya stasiun ini ditutup karena terlalu sering terjadi kecelakaan. Kekasihnya tidak mungkin kembali ke kota ini dan tidak juga untukknya.

“Kak Alin!”

Perempuan itu otomatis berhenti berjalan, lalu membuka matanya lebar-lebar ketika namanya dipanggil oleh suara anak kecil yang asing baginya. Ia menoleh ke belakang dan mendapati seorang gadis yang usianya sekitar 10 tahun. Dia memakai dress abu-abu dan sepatu hitam.

“Siapa kamu? Kok tahu namaku?” tanya Alin keheranan, karena sejak tadi ia tidak sadar telah diikuti anak kecil itu.

            Gadis itu mendekat dengan senyumnya yang hambar. Alin bisa lihat dengan jelas bibirnya yang pucat dan tatapannya kosong.

“Tentu tahu. Kita pernah berkenalan bukan? Kakak pernah menolongku.”

Alin mencoba memutar ingatannya tentang gadis kecil yang sedang menunggunya untuk kembali diingat. Perlahan kejadian tentang seorang gadis yang menangis di tengah-tengah kerumunan sambil memanggil-manggil nama ibunya itu memberi jawaban. Alin sekarang ingat.

“Oh, Amanda!” Gadis itu mengangguk sambil tersenyum lucu. “Hei… kita bertemu lagi sayang. Aku tidak menyangka. Ayo kita berdua duduk di sana untuk mengobrol!” Alin menunjuk salah satu bangku panjang yang kosong di dalam stasiun. Amanda mengikuti Alin di sampingnya.

“Aku sering melihat Kak Alin bolak-balik di tengah rel kereta api ini setiap sore. Apa yang kakak lakukan?”

Alin tersenyum dan duduk dulu sebelum akhirnya menanggapi pertanyaan Amanda.

“Abimanyu, kekasihku. Ya, karena dia.”

“Kenapa dengannya, Kak?”

Alin tersenyum kecut, “Dia kecelakaan kereta saat menuju stasiun ini dan tidak terselamatkan. Aku tentu mengikhlaskannya. Aku hanya ingin sekadar mengingat momen-momen bersamanya di tempat ini. Tempat di mana aku dan dia bertemu, hingga akhirnya saling melepaskan.”

“Dia akan selalu baik-baik saja Kak.”

“Iya, tentu dia baik-baik saja. Dia sudah tenang. Semua orang yang mengenalnya sudah mengikhlaskan kepergiannya sayang.”

Amanda tersenyum, lalu ia menunjuk kalung dengan bandul kupu-kupu di leher Alin.

“Cantik,” pujinya sambil menunjuk kalung Alin.

Alin mengulurkannya kepada Amanda agar anak itu bisa melihatnya dengan jelas.

“Dari Kak Abim. Katanya kupu-kupu adalah simbol pencapaian dalam hidup. Kak Abim berjuang banyak untuk Kakak. Lantas puncak pencapaian perjuangan dia untuk Kakak, yaitu menikah. Tapi ternyata, Tuhan lebih menyayanginya.”

“Kak Alin baik-baik saja?”

“Awalnya kecewa dan marah. Tapi kakak perlahan mulai sadar bahwa itu kesalahan yang tidak boleh dilanjutkan. Kakak sayang dia, makanya Kakak mengikhlaskan, bukan malah marah kepada Tuhan. Karena jika disimpulkan, pencapaian dalam hidup kita yang paling akhir adalah kematian.”

Setelah Alin menjelaskan tentang Abim, lalu ia diam bersamaan dengan Amanda. Alin menoleh kepada Amanda yang ikut diam menatap kosong ke depan. Alin baru kepikiran untuk menanyakan suatu hal yang mengganjal benaknya sejak tadi bertemu.

“Amanda kok sendirian? Ini kan udah sore. Nanti kalau dicari mama gimana?” khawatir Alin. “Kakak antar pulang yuk! Sekalian juga nih kakak mau pulang.”

“Mama belikan aku balon warna merah Kak, tapi balonnya nggak sengaja lepas, terus aku ikutin. Balonnya terbang lewat sana,” Amanda menunjuk rel kereta seberang. “Aku mau ambil balonnya, tapi terakhir kali yang kuingat cuma dengar mama teriak memanggilku. Lalu sesuatu yang begitu berat menabrak dan membuat seluruh tubuhku sangat sakit Kak. Seperti hancur. Kakak bisa menolongku? Hanya untuk sekadar menyampaikan ke mama kalau aku akan tenang setelah mama mengikhlaskan.”

Mendengar itu, Alin baru sadar kalau dirinya sedang tidak berbicara dengan manusia.

***

Cerita Mini ini sudah dibukukan bersama 250 penulis terpilih yang bukunya diterbitkan dalam Antologi Cerita Mini “Balonku, Kupu-Kupumu, dan Keretanya” Jilid 2 oleh Ellunar Publisher dan Puspamala Pustaka.

Jika ingin membeli bukunya, cek informasi terkait:
Instagram: @ellunarpublish_
Website: http://www.ellunarpublisher.com/2019/06/balonku-kupu-kupumu-dan-keretanya-jilid_25.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar