“Kadang aku bertanya, tentang bagaimana caranya kita akan tetap sedekat dan sebaik ini jika pada akhirnya kita tahu bahwa nantinya kita akan berjalan sendiri-sendiri?”
Aku tidak pernah menyesal tentang mengapa pertemuan itu adalah awal
dari semua cerita, lalu kita mengenal hingga sebaik sekarang. Aku juga
tak menyesal mengapa harus kamu orangnya. Aku hanya bersedih ketika kenyataan hidup memberi kita keterbatasan.
Sehingga perasaan yang aku punya ini jadi hanya sebatas saja.
Bahkan ketika aku sudah mencoba untuk meninggalkan, kamu tetap mencari karena membutuhkanku. Begitu pun aku. Sulit sekali rasanya untuk benar-benar pergi darimu. Mungkin karena aku terlalu takut patah hati untuk yang kedua kalinya, pada orang yang berbeda. Atau aku terlalu takut bersama orang lain yang bukan kamu orangnya?
Dasar memang kegelisahan. Menyusahkan tuannya, memperlucu keadaan. Sungguh, menyesakkan. Bahkan ketika aku mencoba menyukai orang lain, yang seringkali terpikir dalam perkara merindukan justru kamu. Aku sampai lagi-lagi mempertanyakan, apakah aku benar-benar menyukai orang itu atau hanya sebatas mengagumi saja?
Hal lain yang paling malas kulakukan adalah membuka gerbang hati untuk orang lain. Sudah kucoba, tapi seolah tiada guna karena pada akhirnya aku tidak bisa membohongi diri dan perasaan untuk melukai orang lain lebih dalam.
Yang terakhir, aku terlalu tidak percaya diri untuk banyak-banyak menulis tentangmu. Karena sebagian perasaan terkadang lebih baik disembunyikan, daripada diungkapkan. Yang lebih-lebih membuatku tidak percaya diri lagi adalah jika kamu ternyata membaca ini. Sebab aku tahu bahwa tulisan ini kemungkinan akan sampai padamu yang pernah mengatakan bahwa kamu sering membaca tulisan-tulisanku sampai selesai.
“Semoga kamu tidak menyadari bahwa kamulah orangnya.”
Di tengah pandemi corona tanpamu,
8 Mei 2020.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar