Kepadamu yang bercita-cita/memiliki kesungguhan untuk menghafal Quran dan menjadi Hafidz/Hafidzah, tanyakan kembali dan renungkan niatmu sesungguhnya dalam hati untuk siapa dan untuk apakah kamu menghafal Alquran?
Jika kamu menemukan temanmu yang suka curhat mengeluh dan sedikit-sedikit menunjukkan apa-apa tentang dirinya/tentang keadaannya secara berlebihan di sosial media, dan membuat risih. Terganggukah kamu ketika melihat dan membaca isi tulisannya? Jika iya, berarti kamu bukan termasuk golongan orang-orang seperti mereka dan itu bagus.
Keberadaan teknologi—khususnya android yang mengandung banyak sekali aplikasi sosial media membuat banyak orang gencar untuk memiliki akun dan ikut eksis di dunia maya. Tidak ada yang salah dalam hal itu. Yang salah adalah ketika kita tidak bijak dan pintar dalam menggunakannya.
Sedikit cerita, di lingkungan saya ada beberapa mahasiswa yang bercita-cita menjadi hafidz/hafidzah Quran. Saya akui, itu suatu niat yang sungguh mulia, tapi sayangnya, sebagian dari mereka setiap apa yang mereka kerjakan sedikit-sedikit diumbar di sosial media. Seperti misalnya, dia berniat/bercita-cita untuk menghafal Alquran atau dia kesulitan menghafal, lalu mengeluhlah dia lewat story, status, atau foto yang dia ketik sendiri. Contoh kalimatnya kira-kira seperti berikut.
Pertama, “Ya Allah, aku niat menghafal Alquran, tapi kenapa ya selalu saja urusan dunia menyibukkan aku dan membuat hafalanku tidak bertambah. Kuatkan aku Ya Allah supaya bisa menjadi hafizah.”—(Antara mengeluh, curhat, dan doa yang diumbar.)—(kamu nggak perlu doa di sosmed sayang, langsung saja tengadahkan tangan dan doa, Allah dengar kok. Mau kamu doanya dalam hati juga Allah dengar. Ngapain lewat ponsel? Biar orang tahu niatmu? Secara tidak sengaja orang memang jadi tahu.)
Kedua, “Alhamdulillah sudah hapal 1 juz!”—(Antara riya dan menunggu netizen memuji)—ya sudah Alhamdulillah, begitu saja. Semua orang sebenarnya bisa menghafal kalau dia berniat. Memangnya bangga dengan diri sendiri harus banget di share di sosial media terus-terusan?).
Ketiga, ”Menghapal Alquran bukan ajang keren-kerenan, kalau kamu suka mengeluh berarti kamu nggak ikhlas. Nyatanya aku bisa.”—(Bukan kamu yang hebat, tapi Allah yang mudahkan urusanmu. Kalau bukan untuk ajang keren-kerenan, lalu untuk apa kamu menjelaskan kondisimu. Akan lebih baik jika kamu juga memberi tips kemudahan menghafal Quran ke temanmu daripada hanya menunjukkan bahwa kamu bisa, sementara yang lain kamu biarkan saja. Terkesan hanya nyinyir dengan kawan yang belum mampu menghafal selancar/sebanyak kamu.
Dll.
—Mengeluh adalah hal yang wajar. Mengeluh yang tidak wajar adalah mengeluh yang tiada henti dan tanpa dipikirkan bagaimana penyelesaian masalahnya. Hal ini yang mesti kita hindari. Kesulitan menghafal juga merupakan hal yang wajar, sebab kemampuan ingatan seseorang berbeda-beda atau bisa juga dilandasi latar belakang yang berbeda-beda. Misal seperti tidak pernah menjadi anak pondok atau jarang mengaji dan tiba-tiba dapat hidayah lalu diminta menghafal Alquran, itu bukanlah suatu hal yang mudah bagi sebagian dari mereka. Sebenarnya juga, hal-hal yang demikian itu tergantung kepada pencapaian orang itu sendiri.
Tetapi akan lebih baik apabila menerima kesulitan bisa disampaikan kepada orang-orang yang mengerti dan dapat membantumu, seperti misalnya kepada asatidz/asatidzah/orang-orang terdekat yang bisa dipercaya dan dapat memberi masukan positif lainnya.)
Mengapa mengumbar doa pribadi dan niat saya katakan riya? Saya memakai pandangan orang biasa untuk beropini demikian. Sebab saya hanya ingin mengingatkan bahwa “perilaku yang demikian itu mendekati riya”, maka usahakan untuk tidak berperilaku berlebihan. Tentu saja hal yang demikian dapat menimbulkan banyak asumsi netizen. Di antaranya, yaitu sebagai berikut.
- Netizen bisa saja mendoakan/memujinya.
- Netizen berasumsi dia sosok yang keren/alim/lainnya yang bagus-bagus.
- Netizen memberi semangat atau perhatian.
- Netizen berasumsi bahwa dia riya/pamer.
- Netizen berasumsi bahwa dia ingin dipuji.
- Netizen berasumsi bahwa dia ingin menunjukkan bahwa “ini loh aku” yang tertuju pada wujud bangga diri.
- Dan lain-lain. Atau mau menambahkan di kolom komentar? Silakan.
Sehingga niat yang sesungguhnya jadi dipandang serong oleh netizen. Wajar netizen berasumsi macam-macam, mau kamu bilang, “Nggak usah protes,” netizen akan tetap berasumsi. Mau kamu bilang, “Tapi niatku tetap seperti ini kok,”/”Setiap orang punya pilihannya masing-masing,” diri kamu mesti dipertanyakan.
Yang namanya memublikasikan tulisan di publik, berarti ada dua kemungkinan yang mesti siap dihadapkan olehmu, yaitu menerima masukan dan kedua adalah hujatan netizen. Kalau kamu menutup diri dari masukan dan hanya mengambil yang memuji, mendoakan, dan memberi semangat saja, berarti kamu sudah merasa lebih baik, sebab kamu sudah menutup diri dari pendapat orang lain yang kurang memuaskan kamu. Kalau lagi-lagi kamu mengelak dengan pernyataan ini, berarti memang ada yang keliru dengan niatmu menghafal.
Memang, terkadang kita tidak perlu mendengarkan apa kata hujatan orang supaya tidak jadi makan hati dan membuat diri menjadi down, tapi jika kita mau berpikir positif, bertafakur, terkadang hal yang seperti itu justru meningkatkan kualitas diri kita untuk menjadi lebih baik lagi tanpa kamu sadari.
Cobalah untuk bertanya pada dirimu sendiri seperti, “Apa ya yang salah dariku, kenapa ada orang yang mengatakan aku riya/ingin dipuji?” Lalu lakukanlah muhasabah. Istighfar lagi. Jika kamu merasa terus baik, kamu tidak akan pernah belajar dari kekeliruanmu itu dan akan terus dipandang orang seperti apa yang mereka lihat.
Padahal penghafal Quran yang saya kenal dan amati, bila dihadapkan dengan sosial media, maka mereka mengatakan seperti ini:
“Udah murojaah belum sobat? Yuk murojaah! HP-nya simpan dulu.”—(Ajakan. Kalimat ini bukanlah suatu hal yang riya. Pahami konteks kalimatnya. Dia mengajak).
“Jangan lupa ngaji, meskipun Ramadhan telah pergi.”—(Mengingatkan agar kebiasaan mengaji tidak berhenti walaupun Ramdhan tahun ini telah pergi).
Orang X meng-upload sebuah foto tamatan Hafidz Quran, kemudian caption-nya mengatakan,“Alhamdulillah setelah menempuh ujian yang panjang, Allah mudahkan urusan. Yuk, yang lain menyusul!”—(Ajakan yang menginspirasi).
Dll.
Kita sebagai umat Islam sendiri, apalagi sebagai pemuda, seharusnya selain menghapal Alquran juga mengetahui isi kandungannya, dengan artinya, kemudian bisa kita aplikasikan juga, karena kalau kita bisa memahaminya juga, kita bisa mempraktekkannya di dalam kehidupan sehari-hari.—(Nasihat).
Adapun dari mereka para hafidz/hafidza yang bahkan membuat tulisan dan pengalaman menghafal yang menginspirasi. Seperti menceritakan apa yang mereka rasakan selama menghafal, tapi mereka menambahkan dengan motivasi-motivasi dan ajakan kepada yang lain untuk menjadi seperti mereka dan dibahas dengan bahasa yang baik. Ada juga yang menceritakan teman kawan murojaahnya yang menginspirasinya dan juga mampu jadi inspirasi buat orang lain.
Sesungguhnya tulisan-tulisan yang insyaAllah baik itu adalah tulisan-tulisan yang bukan hanya menceritakan tentang keunggulan dirinya, akan tetapi yang menginspirasi, mendorong kepada kebaikan, memberi kebaikan, memberi nasihat kepada orang-orang di sekitarnya. Bukan yang merujuk kepada keluhan-keluhan tidak jelas, bangga diri, atau malah bahkan memojokkan saudaranya yang lain dan membandingkannya dengan dirimu sendiri. Kita tidak bisa mengukur kemampuan orang lain dengan kemampuan kita sendiri.
Ada pepatah klise dan sudah sering kita dengar, tapi mungkin sering diabaikan. Seperti ini, “Jadilah seperti padi yang semakin berisi, semakin merunduk.” Analoginya adalah apabila kita menjadi manusia yang semakin berilmu, maka ingatlah kita untuk menjadi manusia yang semakin tawadhu/rendah hati.
Seperti kata Allah dalam Alquran surah Luqman ayat 18 yang artinya,
“Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.”
Sebab kenyataannya kini banyak sekali orang yang banyak ilmu dan semakin taat juga bisa sombong/angkuh karena ia kurang dalam bermuhasabah diri dan kurang dalam mendengarkan/membuka diri terhadap pendapat/kritikan orang lain. Merasa orang lain yang dianggap tidak setara denganmu, tidak mnghormati kamu, dan menganggap dirimu sendiri yang terbaik. Jika kamu merasa punya teman yang demikian silakan diingatkan supaya mereka tidak terjebak dalam kesombongan/keangkuhan.
Saya yakin teman-teman yang ingin menghafal Alquran rata-rata memiliki niat utama untuk menggapai rida Allah. Sementara niat yang lainnya seperti membahagiakan kedua orang tua di surganya Allah kelak, menjadi orang yang bermanfaat di dunia maupun akhirat, mengamalkan Alquran dalam kehidupan sehari-hari serta mengajarkan isi Quran kepada umat, dan niat-niat lain yang mulia.
Tapi sungguh akan lebih baik apabila kamu tidak mengumbar keunggulan dirimu dan sedikit-sedikit menerangkan apa yang kamu kerjakan di sosial media terkait meraih rida Allah. Kenapa tidak sedekah diam-diam saja? Sesulit itukah? Yang kamu cari kan rida Allah, lalu untuk apa sedikit-sedikit diumbar ke sosial media perkara niat dan doa pribadimu dengan Tuhan? Jika tidak bermaksud untuk menunjukkan kepada manusia? lalu apa lagi? Logikanya seperti itu.
Silakan dipikirkan kembali niatmu menghapal untuk apa dan untuk siapa. Yang tidak sepakat dengan tulisan saya ya wajar, karena ini juga hanya opini dan menganalisis keadaan sekitar. Tapi, saya hanya ingin menyampaikan kepada teman-teman pembaca bahwa membatasi/menahan diri untuk tidak sedikit-sedikit mengumbar/menunjukkan kondisi dan kegiatan diri di sosial media merupakan salah satu cara untuk belajar tawadhu.
Terkadang manusia khilaf, terbiasa apa-apa dibuat story atau status tentang segala hal dalam diri hanya untuk sekadar menunjukkan. Alangkah lebih baiknya marilah kita kurangi dan menggantikannya dengan membagikan suatu hal yang bermanfaat.
Pada hakikatnya apa-apa yang kita tunjukkan di sosial media adalah pencitraan atau memunculkan eksistensi diri. Tidak apalah berbagi sesuatu yang bermanfaat atau yang kamu suka. Tidak apa membagi foto kegiatan dan perihal diri asalkan menginspirasi dan memberi motivasi sehingga bermanfaat untuk orang lain. Jika kamu suka menulis, tulislah. Berbagi lawakan pun tidak masalah, supaya orang-orang yang membacanya tidak terlalu serius menjalani hidup ini. Bagilah apapun yang kamu ingin bagi selama itu bukan suatu hal yang Allah larang, memberi kerugian, dan tidak berlebihan.
Tapi, untuk menjelaskan secara berlebihan (wujud bangga diri) dari apa-apa yang kamu raih dan kerjakan di dalam kehidupan sehari-hari atau dalam meraih rida Allah hanya untuk menunjukkan, saya rasa sudah menuju kepada riya. Apalagi disematkan keluhan yang tidak mengubah apa-apa dan tidak menjamin kebaikan apa-apa.
Saya hanya mengingatkan. Semua keputusan kembali kepada nurani masing-masing. Mari kita sama-sama memperbaiki diri. Ada khilaf dalam penyampaian saya mohon maaf dan silakan diingatkan jika berkenan. Karena saya hanya seorang penulis biasa. Semoga kita bisa sama-sama menjadi insan yang dituntun menjadi lebih baik lagi oleh Allah melalui perantara orang-orang beriman di sekitar kita. Amiin….
Jadi paham ya intinya? Semakin ilmu kita bertambah, semakin kita banyak menghafal, marilah kita menjadi golongan orang-orang yang semakin tawadhu. Dalam menghafal pun marilah kita sama-sama memahami arti, isi kandungan, mengajarkan, dan mengamalkannya.
Seperti yang Rasulullah saw sabdakan, “Khairukum man ta’allamal qur’aana wa ‘allamahu”. Artinya: Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Alquran dan mengajarkannya.
Semoga tulisan ini memberi manfaat untuk kawan-kawan. Jika ingin berkomentar atau memberi masukan, silakan komentar dengan bahasa yang baik. Terima kasih. Fastabiqul khairat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar