Postingan Rekomendasi

Tentang Penulis

Hai! Salam kenal kepada yang telah menyempatkan diri untuk membaca tulisan-tulisan random ini. Haricahayabulan merupakan nama pena saya. ...

Tampilkan postingan dengan label Dina Poems. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dina Poems. Tampilkan semua postingan

Senin, 06 Maret 2023

Dua Tahun Lalu

 Karya: Dina Nur Wulan

 

Apakah kamu masih ingat,

Kapan tatap pertama kali ini melihatmu?

Kapan deras hujan membasahi kita?

Dan suara tawa yang renyah terdengarnya.

Aku masih ingat itu semua.

 

Dua tahun lalu,

Kamu dan keindahan namamu masih selalu kuingat

Hingga kini aku masih berharap

Dulu aku takut mengakuinya

Dan lewat puisi ini,

Aku harap kamu bisa merasakannya

 

Purworejo, 1 Oktober 2022

 .................................................................

Merupakan Penulis Terpilih Lomba Cipta Puisi Nasional yang diadakan oleh Arus Pedia pada Februari 2023. Terkumpul menjadi satu dalam buku Antologi Puisi Harapan.

Jumat, 07 Januari 2022

Kepergian

Kepulangan selalu diserta aroma duka
Sebab angin dan sepi yang kita bawa
Hampa rapal doa
Bunga-bunga menabur cinta
Pada Desember yang menutup langkah
Hujan tanpa reda
Dikirim jadi ganti air mata
Bagi orang yang pulang dan tinggal kenang

Yogyakarta, 18 Desember 2015
Haricahayabulan

“Kepergian” sudah dibukukan bersama penulis lain dan ikut serta tergabung dalam Antologi Kumpulan Puisi bertema Hujan di Akhir Tahun dengan judul “Senandung Mendung” oleh Puspamala Pustaka.

 

Jika ingin membeli bukunya, dapat melihat cek informasi terkait melalui Instagram: @puspamalapustaka dan membelinya melalui webstore Ellunar Publisher melalui Website: Ellunar Publisher Website.

Kamis, 17 Desember 2020

Tokoh Fiksi

Bukan tentang kapan kita mulai mengenal
Tapi tentang kapan aku mulai mencintaimu
Di hari pertama kali kita bertemu
Kau adalah kebahagian paling menarik di masa itu

Kau datang dengan rupa dan kata-kata memabukkan
Kupikir adamu adalah kebaikan untuk hati
Namun aku keliru, selama ini kau hanya serupa tokoh fiksi
Yang tak mampu kumiliki dan kurawat seutuhnya

Kau suka berkelakar dengan waktu
Hingga tanpa sadar kau ikut berlalu
Melepaskan dan meninggalkan aku
Lalu aku tertawa atas semua permainanmu

Purworejo, 7 Desember 2020

Puisi ini sudah dibukukan bersama penulis lain dan ikut serta tergabung dalam Antologi Puisi berjudul “Selasar Maya″ oleh Puspamala Pustaka.


 

Rabu, 14 Oktober 2020

Sore Bersama Ibu

Sore ini, aku duduk bersama ibu
Pada dua bangku kayu berbentuk bulat
Kami membicarakan mimpi-mimpi yang masih buta arah
Membicarakan puisi dan cerita yang sedang direncanakan
Membicarakan karya-karya tua seorang pujangga
Serta raut asa yang masih menjadi doa

Magelang, 23/09/2020

Minggu, 28 Juni 2020

Tentang Penyair yang Patah Hati

Seorang penyair belia sedang jatuh cinta.
Ia selalu menuliskan puisi-puisi untuk seseorang yang disayanginya.
Lalu diberikan untuk dibaca dan diingat setiap waktunya.

Setiap puisi yang ditulis penyair pasti punya inspirasinya.
Ketika ia bisa begitu indah menuliskan untuk seseorang,
tapi tidak untuk yang lainnya, sebab bukan itu bintangnya.
Selama itulah ia mencinta.

Kata-katanya menjelma kupu-kupu yang indah,
kepak sayapnya menuntun keindahannya
masuk, menjamah ke alam bawah sadar seseorang yang didamba.
Maka bukan hanya seseorang itu yang disihirnya,
tapi setiap orang yang mencuri tahu isinya
dan tengah merasakan hal yang sama.

Sampai saatnya ia menyadari bahwa perpisahan pasti tiba.
Lalu ia akan merayakan rindu dengan puisi-puisi yang masih ia jaga.
Lima tahun penyair itu merindu, selama itulah ia setia.
Sayangnya kata-kata tak selalu untuk selamanya.
Seindah apapun kalimatnya,
seseorang itu mudah lepas karena tak dapat lama-lama percaya

Penyair itu kehabisan kata.
Saat yang didamba tak lagi jadi bagian dari puisinya,
bagian dari kata-katanya, bagian dari hidupnya.
Dewasa tiba, penyair itu menyadari kesalahannya
bahwa cinta tak bisa hidup hanya dengan kata-kata

Yogyakarta, 18 November 2019

Puisi ini sudah dibukukan bersama penulis lain dan ikut serta tergabung dalam Antologi Puisi berjudul “5:00″ (buku kedua) oleh Ellunar Publisher.


Jika ingin membeli bukunya, cek informasi terkait:
Instagram: @ellunarpublish_
Website: http://www.ellunarpublisher.com/2020/02/500-buku-kedua-kumpulan-puisi-terpilih.html

Segala Sendu

Terkadang hati ini menjelma sekuntum rindu
yang kubiarkan mekar di atas kertas
dengan pena mewakili segala sendu
Menyusun berderat kisah tanpa batas

Yogyakarta, 8 Mei 2018

Berhenti

Lama sudah aku menanti,
tapi kau tak kunjung kembali
Hingga buatku lelah sendiri,
Memberi hati pada yang selalu lari

Aku tidak percaya lagi pada janji-janji yang pernah kau beri
Pada harap yang pernah kau tanam di titik tengah hati
dan pada kata nanti-nanti yang selalu jadi alasan pasti

Kata menantimu itu ilusi
Menyeretku dalam harapan khayal yang cuma fiksi
Sudah cukup sampai di sini
Aku harus pergi

Yogyakarta, 26 Mei 2018

Permainan Kita

Kau suka bermain dengan waktu
Aku suka bermain dengan semesta
Kita bertemu dalam satu ruang yang sama
Lantas kita saling bersenyawa

Kau suka berkelakar dengan waktu
Hingga tanpa sadar kau ikut berlalu
Meninggalkanku dan waktu yang membiru
Lalu aku tertawa atas semua permainan semesta

Yogyakarta, 29 Juli 2016

Tetap Ada

Tidak lagi ada rindu, kekasih
Sebab rinduku, telah kukepakkan ke udara
Tidak lagi kugenggam cinta, kekasih
Sebab cintaku, telah kurelakan pada cahaya

Tidak ada yang sia-sia, kekasih
Kita pernah belajar menjadi bersama
Tapi kini kita tidak lagi bisa pada tempatnya
Kekasih, kamu tetap ada
dalam bagian keabadian, di sana

Yogyakarta, 7 Maret 2017

Janggal

Banyak hal yang aku rasakan
Pada hidup yang mengkotak-kotakkan perasaan
Aku haus akal
Coba untuk terus atur ritme detak
Termasuk segala hal tentangmu yang masih janggal

Yogyakarta, 21 Oktober 2016

Mati

Tahun lalu menjemput ajalnya
Yang mati tidak lagi rindu
Sebab suka adalah dulu
Sekarang hanya ada aku

Yogyakarta, 7 Maret 2017

Abu-Abu

Berusaha melepaskan diri dalam belenggu
dari sebagian masa lalu yang berdebu
Tapi ternyata tak semua mampu
Tersisa bagian abu-abu
Yang ada hanya pada aku dan kamu

Yogyakarta, Maret 2017

Lupa Cara Menjahit

Perempuan itu lupa caranya menjahit,
Hingga lukanya dibiarkan nganga
Membiarkan pria itu bebas mendera dengan suka,
tapi tetap dibalas cinta

Darah dalam jantungnya adalah jiwa
Kemanakah nurani setiap ditanya
Tapi balasnya,
“kepergian”.

Yogyakarta, Februari 2018

Terbang Bebas


Anganku terhempas pada suatu masa
Cerita tua tampakkan wajahnya di permukaan malam
Habis terbangun dalam tidurnya yang panjang

Langit hamparkan bintang-bintang yang telah tanggal
Kulihat dirinya tanpa sinar rembulan
Gulita, tersurut asa, lalu melesat

Tanpa tanda
Kekasih terbang bebas
Tak mau pulang

Purworejo, 30 Agustus 2017

Tuan


Tuan,
Ingin kuambil bibirmu
Untuk kukecupkan pada bulan
Agar cahayamu dapat kusaksikan tiap malam
Sebelum adamu dibawa keranda

Yogyakarta, 4 Maret 2017

Dalam Sajak


Terlalu banyak sajak kusut
yang ditulis dengan sungut
Terlalu banyak kisah klasik yang menderu
dalam kepala membuat buru-buru

Yogyakarta, 3 Maret 2018

Yang Lama Mati


Jendela-jendela rindu terbuka
Sebab bayang muka yang paksa
Kau ketuk pintu hatiku lagi
Memaksaku untuk membuka dan mendengar
Tentang kata maaf pada rasa yang telah lama mati

Ia kembali bangkit ke permukaan
Itu mengapa aku tak pernah bisa berhenti
Untuk tidak lupa dalam hitungan kedua kali

Bayang wajahnya datang mengusik
Terlampau sering hingga
buatku tak tahan untuk terusik
Hidupku jadi serasa bolak-balik
Memang dasar kau pengusik!

Yogyakarta, 3 Maret 2018

Tidak Lagi Ada Kita


Bisa tidak kita lupa saja kalau sekarang kita sudah dewasa?
Sibuk bercerita dan tertawa seperti anak-anak saja
Tak usah dengar apa kata orang dengan keadaan dan tetap tertawa

Bukannya memang itu yang kita butuhkan,
sampai nanti akhirnya kita berjalan sendiri-sendiri?

Kita tidak perlu mencari cara untuk berpisah,
sebab kita juga tahu nantinya kita tidak akan bersama
dan tak lagi saling menyebut, “Kita”
dalam perjalanan selanjutnya.

Yogyakarta, 2018

Memecah Dini Hari


Kota lama melintasi dinding mimpi
Sayup-sayup rindu memecah dini hari
Aku membuka mata, terperangah,
Mencari-cari yang imaji
Kepada sosok yang telah pergi

Sejauh mata dan hati,
mengapa mesti menelusuk bilik emosi
dalam sekejap malam tadi

Purworejo, 14 November 2017

Tenggelam di Matamu


Jendela matamu menenggelamkan aku lagi
Mengulur, membuka tangan, menarikku
Dalam rengkuh yang membiru

Kubisa dengar derap jantungmu
Mengembara, menjelajah seluruh jiwaku
Kau isi jemari kosong kecilku
Kau buatku kalah lagi

Namun samar rengkuh yang membiru jadi beku
Mengunci relung tatap penuh emosi
Pada suatu alasan yang memaksamu harus pergi

Aku patah lagi

Purworejo, 2016