Postingan Rekomendasi

Tentang Penulis

Hai! Salam kenal kepada yang telah menyempatkan diri untuk membaca tulisan-tulisan random ini. Haricahayabulan merupakan nama pena saya. ...

Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opini. Tampilkan semua postingan

Senin, 06 Maret 2023

Siapa penulis buku favoritmu? Apa buku-bukunya yang kamu rekomendasikan?

 Dijawab oleh: Dina Nurw

Rekomendasi buku yang akan saya sebutkan di sini seputar dengan sosial-budaya, psikologi, sejarah, dan pendidikan.

  • Han Nolan - Dancing on The Edge

Untuk penggemar sastra-psikologi, buku ini sangat menarik ceritanya dan selalu membuat penasaran di setiap kejadian-kejadiannya. Sebenarnya ini buku dari penulis barat, namun ada terjemahannya di penerbit Serambi.

Dancing on the Edge merupakan cerita yang luar biasa tentang pencarian kebenaran dari seorang gadis muda, diceritakan dengan penuh keharuan dan humor.

Buku ini merupakan kategori sastra remaja dalam sejarah nasional book award. Bisa dicek sinopsisnya melalui web berikut: Menari di Tepian.

  • Dewi Sartika - Dadaisme

Masih dalam ranah sastra-psikologi. Buku ini juga membicarakan keduanya. Buku ini merupakan Pemenang Pertama Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) tahun 2003.

Novel dengan judul yang sebenarnya tak berkaitan langsung dengan sebuah aliran seni lukis ini seperti membentangkan serpihan-serpihan kritik atas kultur etnik, perselingkuhan, halusinasi, dunia surealis dan peristiwa tragis.

  • Oka Rusmini - Tarian Bumi

Untuk penggemar sastra-budaya Bali dan perempuan, buku ini sangat rekomendasi dan menarik. Buku ini menampilkan fenomena sekaligus kontroversi.

Novel ini dengan sangat terbuka menghantam keadaan yang melingkupi kehidupan perempuan di kalangan bangsawan Bali yang masih sangat feodal. Dalam konteks adat istiadat Bali, Tarian Bumi dipandang sebagai sebuah pemberontakan kepada adat (Tempo, 9 Mei 2004). Bisa dicek sinopsisnya melalui web berikut: Tarian Bumi

  • Ahmad Tohari - Ronggeng Dukuh Paruk

Buku ini sebenarnya terbagi menjadi 3 serial. Seri 1: Jantera Bianglala, Seri 2: Lintang Kemukus Dini Hari, dan Seri 3: Ronggeng Dukuh Paruk.

Ronggeng Dukuh Paruk pada intinya menceritakan tentang kisah cinta antara Srintil, seorang penari ronggeng dan Rasus, teman sejak kecil Srintil yang berprofesi sebagai tentara.

Ronggeng Dukuh Paruk mengangkat latar Dukuh Paruk, desa kecil yang dirundung kemiskinan, kelaparan, dan kebodohan. Latar waktu yang diangkat dalam novel ini adalah tahun 1960-an yang penuh gejolak politik.

Bisa dicek sinopsisnya melalui web berikut: Ronggeng Dukuh Paruk

, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala

.

  • Ahmad Tohari - Belantik

Belantik merupakan buku ke-2 dari Bekisar Merah. Jadi sebelum membaca ini, membaca Bekisar Merah dulu. Mau langsung membaca Belantik pun tak masalah.

Bekisar adalah unggas elok hasil kawin silang antara ayam hutan dan ayam biasa yang sering menjadi hiasan rumah orang-orang kaya. Lasi adalah anak desa berayah bekas serdadu Jepang yang memiliki kecantikan khas—kulit putih, mata eksotis—membawa dirinya menjadi bekisar di kehidupan megah seorang lelaki kaya di Jakarta, melalui bisnis berahi kalangan atas yang tidak disadari olehnya.

Bisa dicek sinopsisnya melalui web berikut: Belantik

.

  • Pramoedya Ananta Toer - Bumi Manusia

Buku ini mengambil latar belakang dan cikal bakal nation Indonesia di awal abad ke-20. Dengan membacanya waktu kita dibalikkan sedemikian rupa dan hidup di era membibitnya pergerakan nasional mula-mula, juga pertautan rasa, kegamangan jiwa, percintaan, dan pertarungan kekuatan anonim para srikandi yang mengawal penyemaian bangunan nasional yang kemudian kelak melahirkan Indonesia modern.

Lebihnya bisa dicek di sini: Bumi Manusia

.

  • Butet Manurung - Sokola Rimba

Buku ini merupakan catatan dari seorang petualang dan pengabdi lingkungan yang disajikan secara ’apa adanya’, nyata, hidup, penuh dengan pengalaman langsung tangan pertama.

Lewat proses pengalaman langsung ini, Butet tidak saja berhasil mendidik Orang Rimba, tapi juga belajar dari dan diajari oleh Orang Rimba tentang cara pandang, budaya, perilaku dan kehidupan Orang Rimba dengan segala kekayaannya.

Lebihnya bisa dicek di sini: Sokola Rimba

.

————————

Dll. Sebenarnya banyak buku-buku menarik untuk direkomendasikan, tapi sekiranya itu saja yang saya jabarkan. Barangkali tertarik untuk menjadikan list bacaan.

Apakah perbedaannya antara menjadi orang pandai dan orang bijaksana?

Dijawab oleh: Dina Nurw

Orang pandai belum tentu bijaksana, tapi orang bijaksana tidak bodoh.

Orang yang pandai bisa saja ceroboh dan tidak tahu adab terhadap orang-orang di sekitarnya. Sebab orang pandai yang tidak bijaksana hanya mengandalkan intelektualnya saja sebagai pegangan diri. Ia bisa saja menjadi sombong karena kepandaiannya yang ia banggakan dan mementingkan diri sendiri.

Tetapi orang yang bijaksana adalah orang yang menggunakan akal budinya berdasarkan pengalaman dan pengetahuan. Ia mempelajari sesuatu bukan hanya sekadar tahu, tapi juga ia pahami dan diaplikasikan/riset dalam kehidupan. Menurut saya orang yang bijaksana adalah orang yang cermat dan teliti dalam menghadapi/menyikapi sesuatu. Orang yang bijaksana tidak mungkin menelantarkan orang-orang yang membutuhkannya.

Mungkin beberapa orang bijaksana tidak sepandai orang yang “sangat pandai”, tapi menurut saya orang yang “bijaksana” lebih bernilai dan bermanfaat ada di bumi.

Sabtu, 01 Mei 2021

Menanggapi Peristiwa dengan Bahasa Santun

Bahasa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) artinya percakapan (perkataan) yang baik; tingkah laku yang baik; sopan santun. Kita sering menggunakan bahasa dalam berdialog dengan orang lain. Dalam berdialog dengan orang lain pun kita perlu memperhatikan kesantunan dalam menyampaikan sesuatu atau biasa disebut dengan kesantunan dalam berbahasa atau tanggapan santun.

Ada khasus di mana seseorang dalam berbahasa melalui chat memiliki maksud yang baik dan tulus, tapi justru diartikan tidak sesuai makna sebenarnya oleh orang lain. Mengapa bisa demikian? Padahal secara kaidah berbahasa kalimat yang ditulis dengan tulus itu adalah kalimat yang santun.

Semua itu sebenarnya tergantung pada tingkat emosinal lawan bicara dan bagaimana pemahaman tanggapan santun orang tersebut terhadap orang lain. Ini hanya perkara bagaimana menyampaikan kata-kata dengan santun atau menanggapi sesuatu dengan santun. Contoh, terkadang ketika kita sudah menggunakan kata yang tepat dan santun untuk meminta maaf kepada orang lain karena misal tidak bisa membantu atau belum mampu memberikan solusi dengan baik.

Jika kalimat yang keluar seperti, “Saya minta maaf.” Itu sudah santun tapi untuk menanggapi seseorang itu masih kurang, karena perlu adanya penjelasan dan alasan kenapa saya harus meminta maaf. Maka, contoh tanggapan santun yang benar  seperti, “Saya minta maaf karena saya belum mampu memberikan solusi untuk permasalahan kamu.”

Jika demikian, maka jelas, alasan meminta maafnya sudah dijelaskan dan ditanggapi seutuhnya dengan santun. Namun, jika lawan bicara menganggap bahwa kata maaf yang demikian terkesan tidak tulus. Itu jelas terlihat bahwa lawan bicara belum mampu memahami makna dari tanggapan santun itu seperti apa. Padahal jelas sekali bahwa kalimat tersebut lebih santun daripada kita mengucapkan seperti, “Maaf yaaaa… (lalu diberi emotikon)” Mengapa demikian? Mari kita bedah bersama-sama.

Kata, “Maaf yaaaa… (lalu diberikan emotikon)” sebenarnya tidak salah juga, namun secara penulisan kata maaf ditambah emotikon saja tidak dapat dikatakan tulus. Bisa saja orang tersebut hanya ingin membuat reda dengan retorika berbahasa, tapi dalam hatinya tidak tulus. Karena apa? Kita bisa saja menulis “hahaha” di chat hanya untuk menghargai lawakan teman yang sebenarnya garing atau tidak lucu. Jika diibaratkan, maka demikian. Jika akan dijadikan tanggapan santun, maka tidak hanya kata “hahaha” saja yang keluar tapi juga menyampaikan kalimat lain yang mendukung bahwa hal itu memang lucu. Jadi, tanggapan yang santun adalah menggunakan bahasa yang sopan dan menjelaskan sesuatu yang ditanggapi.

Adapun seperti bagaimana cara kita mengkritik seseorang dengan tanggapan yang santun. Memberi kritik yang benar akan mendorong seseorang untuk berkembang lebih baik. Kritik membangun (konstruktif) dapat meningkatkan karakter orang dan menghindari menyalahkan dan menyerang pribadi. Kritik yang konstruktif memiliki nada positif dan fokus pada tujuan yang jelas dan dapat dicapai.

Mengkritik itu membantu orang bukan karena kamu merasa tidak suka atau merasa perlu mendengar pendapatmu. Kritik yang perlu dihindari adalah kritik yang hanya mencari kesalahan, merendahkan, menjelekkan, dan menyakiti orang. Kritik yang hanya berfokus kepada kesalahan dan kelemahan bukanlah kritik, melainkan mencela dan mencaci.

Bagaimana cara mengkritik yang membangun? Mulailah dengan cara positif, memuji, menunjukkan apresiasi yang jujur dan tulus. Tidak menunjukkan emosi negatif, seperti bahasa tubuh dan nada suara. Hindari bahasa negatif, menyalahkan, atau meyerang pribadi seperti, “Kamu salah” atau “ini gagasan bodoh dan tidak masuk akal”. Jadi, konstruktif itu harus membangun memberikan solusi. Barulah hal itu bisa dikatakan sebagai mengkritik dengan santun. Contoh mengkritik dengan bahasa yang santun adalah “Puisi yang kamu bacakan tadi sudah bagus, tapi akan lebih indah lagi jika menggunakan majas agar tidak monoton.”

Ada lagi tentang bagaimana menanggapi suatu pujian dengan santun. Ada empat hal yang perlu diperhatikan dalam memuji seseorang, yaitu pertama, memuji dengan tulus, bukan basa-basi. Kedua, hormati dan hargai. Ketiga, memperhatikan waktu. Keempat, berikan rasa nyaman. Kita mulai dari yang pertama. Tulus bukan basa-basi. Memuji tidak dengan sungguh-sungguh akan dapat dirasakan. Sebaliknya jika pujian itu sungguh-sungguh, tulus, bukan sekadar basa-basi dapat dirasakan orang senang dengan apa yang kamu katakan. Misalnya, “Kamu tampak lebih ceria jika memakai baju warna itu.” Daripada mengatakan, “Kamu bagus memakai baju itu.”

Kedua, hormati dan hargai. Jangan sampai niat memuji malah diterima sebaliknya. Hati-hati memuji berdasarkan suku, agama, dan rasa tau penampilan fisik seseorang. Hindari ungkapan penjelas yang tidak perlu. Misalnya, “Kamu hebat untuk ukuran orang desa” atau “Tidak ada orang kampong yang sehebat kamu” (Hal ini menyiratkan bahwa orang desa/kampong tidak ada yang hebat atau pintar). Lebih baik dikatakan seperti ini, “Kamu hebat dan pintar, tidak kalah dengan orang lain di luar sana.”

Ketiga, waktu. Ada pujian yang tidak cocok dalam waktu tertentu. Pastikan lihat konteks peristiwa dalam memuji seseorang. Paling tepat, pujian diberikan setelah seseorang mengerjakan sesuatu dengan sangat baik. Misal dengan memuji di hadapan banyak orang. Contoh, seorang siswa diminta menyanyikan lagu perpisahan di sebuah acara purna siswa kelas XII SMA. Kemudian saat turun, lalu MC menyampaikan bahwa, “Berikan tepuk tangan yang meriah untuk Anggara. Penampilan menyanyi yang luar biasa menyentuh hati. Terima kasih Mbak Anggara sudah menghibur kami.”

Keempat, berikan rasa nyaman. Tujuan memuji adalah untuk orang lain, bukan untuk diri sendiri. Jangan membicarakan diri sendiri apalagi jika maknanya berlawanan. Ini membuat orang yang dipuji merasa tidak nyaman. Misalnya, “Kamu hebat sekali sudah memenangi kejuaraan catur mengharumkan sekolah kita. Kalau saya tidak mungkin bisa. Saya orang yang tidak bisa apa-apa.” Pujian yang seperti itu justru membuat rasa tidak nyaman bagi orang yang dipuji. Jadi lebih baik kalimat, “Kalau saya tidak mungkin bisa. Saya orang yang tidak bisa apa-apa” dibuang saja. Cukup dengan memuji, “Kamu hebat sekali sudah memenangi kejuaraan catur mengharumkan sekolah kita”.

Kesimpulannya adalah tanggapan yang santun adalah tanggapan dengan menggunakan bahasa yang sopan, tidak terkesan dipaksa, tidak membicarakan diri sendiri, dan dengan perkataan yang baik. Perkataan yang menjelaskan peristiwa atau keadaan yang sedang terjadi dengan tulus. Demikian bagaimana cara memahami bagaimana memberi tanggapan dengan santun.

Sabtu, 21 November 2020

Menulis Sebagai Gerakan Perubahan

Karya: Dina Nur Wulan
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)
Universitas Ahmad Dahlan
Yogyakarta

Esai bertema IMM sebagai gerakan literasi.
Literasi berhubungan dengan suatu hal, yaitu tulis-menulis. Selain budaya membaca yang kini sudah terbilang mulai pudar, budaya menulis pun begitu, apalagi di kalangan mahasiswa. Tulis-menulis yang dimaksudkan adalah menulis sesuatu yang bermanfaat untuk dibaca orang lain. Seseorang yang akan mulai menulis, tidak akan mungkin bisa lancar atau dapat menulis jika dia tidak mempunyai referensi bacaan. Kepudaran dari kedua budaya ini terjadi akibat adanya kemajuan yang pesat dari teknologi. Kehadiran teknologi seringkali melenakan banyak mahasiswa. Memang tidak sepenuhnya teknologi merupakan suatu hal yang menjadi dampak negatif akibat pudarnya budaya menulis di kalangan mahasiswa, akan tetapi itu semua juga tergantung pada mahasiswa itu sendiri.

            Pertama, ada mahasiswa yang gemar menulis. Suatu kegemaran memang awal yang baik. Namun, kebanyakan sesuatu yang dituliskan tersebut hanya berupa bacaan hiburan atau tulisan-tulisan tidak bermanfaat di sosial media. Tulisan yang berupa bacaan hiburan itu pun seringkali tidak mengandung wawasan atau tidak begitu nampak nilai-nilai yang dapat diterapkan atau diambil oleh pembaca. Contoh kecil saja bacaan komedi yang hanya berisi lelucon tanpa ada sesuatu pembelajaran kehidupan yang bisa pembaca ambil. Kemudian ada pula bacaan yang sering mengundang banyak penggemar remaja dan dewasa yaitu bacaan tentang kisah cinta. Seringkali ada banyak pula penulis yang menceritakannya secara klise. Pesan yang terkandung intinya sama, namun diceritakan dalam versi yang berbeda-beda. Bahkan ada pula penulis yang lebih mengedepankan banyak kesenangan daripada apa yang seharusnya jadi hal yang dapat dipelajari pembaca dari alur cerita tersebut.

Bacaan yang menghibur atau yang sering disebut dengan karya sastra populer memang masih memiliki nilai guna untuk sekadar bacaan ringan dan tentu saja tidak semua penulis seperti itu. Sebagian penulis lainnya memang tidak hanya menulis bacaan hiburan, tetapi juga menyematkan wawasan dan nilai-nilai yang bermanfaat.

Kemudian, ada banyak sekali mahasiswa yang gemar sekali menulis di media sosial seperti facebook, twitter, blogger, dan lain-lain. Tidak ada salahnya mahasiswa memiliki kegemaran menulis di media sosial. Yang menjadi salah apabila mereka menuliskan sesuatu yang tidak pantas untuk dituliskan, sementara yang membaca adalah banyak orang dan mereka pasti akan tahu atau bisa menggambarkan sifat dan sikap orang tersebut seperti apa. Sesuatu yang tidak pantas untuk dituliskan, yaitu seperti berupa kalimat mengejek orang lain, berkata-kata kasar, mengkritik sesuatu tanpa ada solusi yang kesannya mencaci-maki, menceritakan hal-hal pribadi, mengeluh soal kehidupannya, membangga-banggakan diri sendiri karena mampu melakukan sesuatu dengan baik, atau menuliskan sesuatu yang gunayanya hanya untuk pamer. Hal-hal yang sedemikian itu hanya akan mencitrakan seorang penulis yang buruk.

Maka, sebagai mahasiswa yang berintelektual dan merupakan harapan bangsa, jika memang menulis tulisan yang bacaannya mengandung hiburan adalah suatu awal untuk menjadi gemar menulis, janganlah hanya sekadar menulis sesuatu yang klise atau mengandung unsur kesenangan semata. Tambahkanlah suatu hal yang bermanfaat untuk pembaca dan alurnya jelas. Karena hal tersebut sama dengan belajar untuk diri kita sendiri, juga memberi pembelajaran untuk orang lain. Kemudian mahasiswa yang juga gemar menulis di media sosial, hendaknya hindari menuliskan hal-hal yang malah akan mencitrakan keburukan dan jangan menunjukkan kebaikan diri yang tujuannya hanya pamer. Tulislah sesuatu yang jika dibaca orang itu bermanfaat atau setidaknya menghibur, namun tetap mengandung manfaat.

Apabila kegemaran menulis sudah terterap di dalam diri, sebagai mahasiswa yang memiliki tanggung jawab penelitian dan pengembangan dalam tri dharma perguruan tinggi, hendaknya lebih kritis, kreatif, dan inovatif untuk menjadi agent of change yang akan membawa perubahan-perubahan ke arah yang lebih maju dan terdepan, maka cobalah untuk menuliskan sesuatu hal yang lain selain tulisan yang menghibur. Contohnya mengkritiki sebuah bacaan, memperluas gagasan orang lain dengan pendapat kita, menulis artikel, menulis karya ilmiah, menulis sesuatu yang berkaitan dengan tujuan berdakwah, dan lain-lain sebagainya yang mengandung wawasan yang bermanfaat lebih luas lagi untuk masyarakat ketahui dengan mempublikasikannya. Islam sendiri mengajarkan kita untuk beramal dengan ahsanu amala (kerja dengan kualitas terbaik) bukan aktsaru amala (banyak kerja, tapi tak berkualitas).

Kemudian, apabila kegiatan tulis-menulis ini dikaitkan dengan mahasiswa-mahasiswa Muhammadiyah yang memiliki pergerakannya yang disebut dengan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), ini sangat bagus dan patut untuk dilakukan.

Seperti tujuan IMM sendiri, yaitu mengusahakan terbentuknya akademisi Islam yang berakhlak mulia dalam rangka mencapai tujuan Muhammadiyah. Sementara tanggung jawabnya adalah keagamaan, kemahasiswaan, dan kemasyarakatan. Dalam Muhammadiyah sendiri untuk mencapai tujuan tunggalnya harus berpedoman , yaitu “Berpegang teguh akan ajaran Allah dan Rasul-Nya, bergerak membangun disegenap bidang, dan lapangan dengan menggunakan cara serta menempuh jalan yang diridai Allah.” Dengan begitu selain IMM menegakkan dakwahnya melalui bicara, IMM juga harus menegakkan dakwahnya dengan menulis. Seperti yang dikatakan oleh seorang tokoh sastrawan bernama Pramoedya Ananta Toer, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Dengan menulis, orang meninggalkan sejarah yang bermanfaat untuk orang lain yang bisa dikenang dan diteruskan perjuangannya setelah keberadaannya tidak ada lagi. Dengan begitu, dalam IMM sebagai mahasiswa Muhammadiyah yang senantiasa mengabdikan diri untuk kepentingan rakyat dan keagamaannya, juga kemahasiswaannya, maka menulislah sesuatu yang bermanfaat dan menegakkan dakwah kemuhammadiyahan berdasarkan ajaran Allah dan rasul-Nya. Tanamkanlah kegemaran menulis dalam diri untuk kepentingan bersama, sebelum menggerakkan orang lain untuk gemar menulis.

Kedua, disamping adanya mahasiswa yang masih menumbuhkan rasa kegemaran diri untuk menulis, namun disisi lain ada pula yang sudah menanamkan itu dalam diri mereka sebagai hobi. Sampai-sampai berusaha menulis agar tulisannya dimuat di penerbitan buku atau majalah dan juga diikutsertakan dalam lomba-lomba. Itu merupakan semangat yang sangat baik. Namun, ada mahasiswa yang menjadi berhenti menulis gara-gara tulisannya tidak dimuat-muat dan selalu kalah dalam lomba. Semangatnya patah, putus asa, dan tidak mau lagi untuk mencoba. Ini yang menjadi tidak baik dari mahasiswa. Sebuah tulisan tidak dimuat atau kalah dalam lomba itu bukan berarti tulisan kita tidak dihargai atau tidak bagus, melainkan kemungkinan ada yang perlu dikoreksi kembali, terlalu klise, atau kurang menarik. Karena sesuatu yang bagus untuk kita itu belum tentu menarik perhatian orang lain. Maka mahasiswa hendaknya koreksi diri dan belajar lagi. Lagipula, sebenarnya menulis dengan dipublikasikan di sosial media pun tetap menjadi sesuatu yang sangat baik walaupun tulisan tidak dimuat dalam penerbitan. Setidak-tidaknya sudah ada usaha untuk belajar membuka ide, gagasan, pendapat untuk orang lain dengan menulis. Memberikan wawasan pengetahuan pula untuk orang lain. Menulis tidak harus dimuat, tapi jika dimuat pun akan lebih baik lagi. Yang dicari dan dituju bukan bagaimana tulisan kita bisa terkenal di kalangan luas, tapi bagaimana tulisan kita mampu memberikan manfaat untuk orang lain.

Ketiga, ada pula mahasiswa yang sangat gemar menulis, tapi tulisan tersebut hanya dia simpan untuk dirinya sendiri. Dia ingin mempublikasikannya, namun dia sudah berpikir negatif dahulu sebelum mencoba. Dia merasa malu untuk dibaca, karena takut adanya komentar-komentar yang jelek, tidak senang dengan tulisannya, atau mengkritik tulisannya. Sebagai mahasiswa yang mampu berpikir luas, hendaknya janganlah membatasi diri kita hanya karena rasa takut. Lantas, bagaimana cara kita berdakwah lewat tulisan apabila memiliki rasa takut dalam mempublikasikannya? Komentar apapun itu, jadikanlah itu sebagai sebuah ujian. Jika memang apa yang kita tulis banyak yang mengkritik, itu bisa jadi memang dari diri kita sendiri yang mengalami kesalahan. Dengan begitu kita akan belajar. Mencari kebenaran-kebenaran yang lebih akurat lagi sehingga kita akan menjadi tahu dan menjadikan kita semakin maju untuk terus bersemangat menulis. Kesalahan tidak selalu ada pada si penulis, terkadang pembaca yang mengkritik pun yang salah dalam mengkritik, karena dia tidak tahu sebenar-benarnya apa yang kita tulis. Maka, kita bisa menjelaskan agar dia tahu dan kita sama-sama belajar.

Menulis bukanlah suatu bakat yang datang secara tiba-tiba. Sebagai mahasiswa yang intelektual, apalagi mahasiswa Muhammadiyah dan juga yang bergerak dalam IMM, tanpa adanya kemauan dan usaha untuk menulis, maka bakat itu tidak akan muncul. Menjadi penulis harus tahan banting. Kritikkan apapun itu jadikanlah sebuah pembelajaran. Tanamkanlah hobi menulis dalam diri kita, kemudian tulislah sesuatu yang bermanfaat untuk banyak orang, publikasikan, dan tegakkan dakwah dengan menulis. Karena, sebuah goresan pena dapat membawa perubahan yang besar.

...

Daftar Pustaka

Yulianti, Putri. 2014. “Tri Dharma Perguruan Tinggi”.

http: //m.kompasiana.com/pitriyulianti/tri-dharma-perguruan-tinggi.html. diunduh pada

tanggal 25 Juni 2016.

 

Hambali, Hamdan. 2006. Ideologi dan Strategi Muhammadiyah. Yogyakarta: SURYA SARANA

GRAFIKA.

 

Yulius, Muhammad, dkk., 2004. Buku Sakti Menulis Fiksi. Jakarta Timur: PT Kimus Bina

Tadzkia.

 

Nariswari, Fitria Sis. 2012. Penyeragaman Selera dan Cita Rasa. Depok: Jurnal Kohesi

Jumat, 28 Agustus 2020

Ajakan Beribadah

Setiap orang berbondong-bondong mengingatkan kita pada ajakan beribadah. Mengajak kepada kebaikan adalah perilaku yang mulia, apalagi ajakan beribadah. Sungguh dianjurkan. Namun menurut saya ada hal yang keliru jika ajakan ibadahmu justru dijadikan tameng untuk membandingkan nilai ibadahmu dengan ibadah orang lain. Maksudnya apa?

            Maksudnya begini: Kamu tak perlu berprasangka buruk jika orang yang kamu ajak belum mampu menunaikan ibadahnya “sama” seperti apa yang kamu lakukan. Kadang-kadang tak selalu ajakan yang kita utarakan dapat diterima selalu oleh orang-orang yang diajak. Ibaratkan seperti kita tidak bisa membuat semua orang senang dengan kita, pasti ada orang yang tidak suka dengan kita. Jadi, daripada malaikat ragu mencatat amal baikmu ketika kamu justru misuh-misuhin keimanan orang lain yang belum mampu konsisten, lebih baik doakan saja hal-hal baik untuknya. Kan adem jadinya.

            Beragama tidak mempersulit usaha orang untuk mencapai berapa nilai ibadahnya. Perlakukan segala bentuk “ajakan beribadah” dengan penuturan yang baik dan damai. Perkara seberapa banyak pahala yang didapat itu sudah hitungan Allah. Tugas kita adalah mengerjakan. “Setiap orang ada proses belajarnya. Ada tahapannya.” Tidak apa-apa, yang penting berproses.

            Dalam proses tersebut pun butuh diyakinkan bahwa ajakan beribadah tidak menyudutkan pribadinya sehingga apa yang dikerjakannya itu sampai dalam hati. Bukan justru dibandingkan atau dikomentari buruk yang dapat membuatnya berpikir bahwa beragama tidak membuatnya damai. “Padahal justru orang-orangnya yang mengajak tidak mendamaikan”.