Postingan Rekomendasi

Tentang Penulis

Hai! Salam kenal kepada yang telah menyempatkan diri untuk membaca tulisan-tulisan random ini. Haricahayabulan merupakan nama pena saya. ...

Minggu, 28 Juni 2020

Kopi dengan Sedikit Gula

Aku menyebut lelaki itu sebagai ahli penyeduh kopi, meskipun aku tahu nama Barista lebih menarik daripada itu. Pilip menyapa kami berdua dengan senyum dan salam hangat serta bahasa ala-ala orang Perancis pagi ini.

“Bonjour Adam! Bonjour Ilana!”

“Bonjour aussi Pilip!” jawabmu yang lebih mengerti bahasa Perancis kepada Pilip dengan lambaian tangan dan senyum yang tak kalah hangat.

Pilip si ahli penyeduh kopi itu memang memiliki darah Perancis dari ayahnya. Dia sebenarnya orang kaya, tapi Pilip memilih jalan dan usahanya sendiri menjadi pekerja kecil-kecilan sebagai permulaan. Aku dan Adam bisa begitu mengenal Pilip karena kami sering kemari.

Katanya, Pilip ingin membuktikan pada ayahnya bahwa dia bisa hidup tanpa menggunakan uang ayahnya secara terus-menerus untuk hidupnya di perantauan. Pilip selalu merasa cukup. Sebab merasa cukup adalah bentuk kesederhanaan. Bagi Pilip, sederhana adalah nilai yang amat tinggi dan mesti dia terapkan menjadi pribadi. Dia sudah berhasil menjadi orang sederhana itu.

“Seperti biasa ya, kopi tubruk dengan sedikit gula,” katamu pada Pilip. Beralih kepadaku, “Kamu apa Ilana? Cappucino lagi?”

“Kopi tubruk manis,” kataku mencoba suatu hal yang berbeda.

Setelah memesan kopi, aku dan kamu beralih duduk di tempat yang masih kosong dengan kondisi berhadap-hadapan. Kami memang biasa nongkrong di sini, di hari Minggu pagi hanya untuk minum kopi berdua. Oh ya, kami bukan sepasang kekasih. Adam hanya sahabatku sejak 5 tahun hingga sekarang. Tapi, orang-orang kira kita adalah sepasang kekasih, sebab kami sering terlihat bersama. Kami hanya akan tertawa di belakang layar jika orang-orang mengira begitu.

“Jadi cerita?” tanyaku, menagih keinginannya.

Niat kami pagi ini memang untuk berbagi cerita. Kami memang tidak ada habisnya untuk berbagi. Apapun kami bicarakan. Dari yang masuk akal seperti persoalan kuliah, diskusi, dan sampai yang di luar akal. Adam adalah lelaki paling menyenangkan di bumi dan tidak biasa ketika diajak bicara. Aku merasa nyaman dan terbangun akan hal itu. Katanya, aku juga begitu menyenangkan dan nyaman dia ajak bicara. Oleh sebab itu mengapa kami bertahan tetap seperti ini, bersahabat. Karena cuma rasa itu yang kami punya.

Aku pernah menanyakan soal cinta kepadanya. Aku tahu dia sedang mencintai seseorang, tapi dia tidak pernah mau bilang siapa orangnya dan hanya senyum-senyum saja membuatku penasaran. Dia memang curang. Tidak mau mengaku. Padahal aku sudah mengaku kalau aku sedang tidak mengerti kemana arah rasaku berada. Perasaanku kosong. Adam tahu itu dan dia bilang, dia akan menemaniku menunggu sampai dapat orang yang akan mengisi perasaanku dulu. Tapi sudah sekian lama, hasilnya masih nihil. Adam masih sabar menunggu. Dia memang lelaki paling setia dalam hidupku.

“Jadi. Tapi, nanti. Tunggu kopi kita datang dulu. Kamu juga akan cerita kan?” katamu, menjawab pertanyaanku.

“Iya. Kamu mau bicara tentang apa?” tanyaku, penasaran.

Kamu tersenyum, “Maunya tentang apa? Tentang kita?”

“Kita?” Aku tertawa. “Jangan bercanda itu lagi. Sangat menggelikan.”

Kamu hanya tersenyum samar tanpa tawa. Aku tidak mengerti mengapa kali ini kamu menolak tawa. Sebelum sempat aku berpikir lebih, Pilip datang membawa kopi pesanan kami. Kamu langsung meneguk kopinya dengan muka biasa-biasa saja. Aku mengernyit saat melihat ekspresinya, tidakkah kamu merasa pahit?

“Bagaimana rasanya?” tanyaku.

“Seperti kopi tubruk pada umumnya,” jawabmu seolah biasa.

“Kenapa selalu pahit yang kamu pilih? Memangnya hidup tidak cukup memberimu seduhan manis?”

“Bukan tidak cukup.”

“Lalu?”

“Sebab yang manis sudah ada di depan mata.”

Aku tertawa. Ini pasti kelakarmu lagi. Mencoba menggangguku dengan kata-kata manis yang akan memancing bahagia. Kamu memang pandai merayu. Aku tentu tahu.

“Kamu tidak menjawab pertanyaanku Adam.”

Kamu lagi-lagi hanya tersenyum. Hari ini kamu banyak membuat isi kepalaku mempertanyakan mengapa.

“Kita sama-sama tahu bahwa hidup itu tidak selalu manis Ilana, tapi cinta bisa mencukupinya. Aku bersyukur dan mencintai apa yang Tuhan beri pada kita. Kuanggap kopi ini adalah hidup, lalu kamu adalah pemberian Tuhan yang akan mencukupkan hidupku nanti. Selamanya.”

Sekarang aku mengerti arah perbincangan kamu hendak kemana. Kamu memintaku berhenti menunggu orang lain dan melihat adamu yang jelas nyata di sekitarku bukan? Sesederhana seperti Pilip mencintai pekerjaannya dan cukup hanya itu. Tentu saja iya. Kamu memandangiku begitu lekat seperti berharap, hingga aku tak dapat lepas sebab aku sedang terikat olehmu. Hanya denganmu.

Cerita Mini ini sudah dibukukan bersama penulis lain dan ikut serta tergabung dalam Antologi Cerita Mini “Willing Wednesday” oleh Ellunar Publisher dan Puspamala Pustaka.

Jika ingin membeli bukunya, cek informasi terkait:
Instagram: @ellunarpublish_
Website: http://www.ellunarpublisher.com/2018/11/willing-wednesday-kumpulan-cerita-mini.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar