Postingan Rekomendasi

Tentang Penulis

Hai! Salam kenal kepada yang telah menyempatkan diri untuk membaca tulisan-tulisan random ini. Haricahayabulan merupakan nama pena saya. ...

Senin, 29 Juni 2020

Instrumen Derap Kaki Kuda

Karya: Haricahayabulan
Cerita ini telah dipublikasikan online oleh Penerbit Haru Grup

Entah mengapa akhir-akhir ini aku merasa melankolis sekali. Ditambah remang-remang bias hujan pada sinar lampu jalan dalam kaca bus. Aku menggosok-gosokkan kedua telapak tanganku sembari kutiup-tiupkan, berharap ada kehangatan yang bisa melindungiku dari dingin hujan. Kata orang, hujan bisa mencukil keluar ingatanmu pada masa-masa silam. Aku tidak berpikir untuk mempraktekkan, karena itu sungguh kurang kerjaan. Tapi, ingatan beberapa tahun silam itu sendiri yang pelan-pelan merembet masuk. Sesosok manusia ajaib dari luar angkasa itu menari-nari dalam kepalaku.

Aku tertawa samar. Luar angkasa. Bukan, bukan maksud yang sesungguhnya. Dia hanya begitu unik. Kupikir, orang-orang di bus ini tidak akan peduli apa yang sedang kulakukan sekarang. Termasuk tertawa sendiri. Mereka mungkin sibuk mendengarkan riuh bising mesin bus yang berduet dengan para pedagang jeruk yang tengah mempromosikan jeruk manisnya. Kupikir mereka selalu gunakan metode yang sama. Pasti ada saatnya penumpang bus ini menunggu untuk menjadi pembeli terakhir yang akan mendapatkan kesempatan membayar dengan turunan harga paling murah. Mudah sekali ditebak. Tunggu saja nanti. Tidak menunggu pun, kau yang pernah naik bus akan berkata, itu benar.

Mungkin kau bertanya aku hendak ke mana sekarang. Aku akan pulang, ke kota asalku. Aku mengambil cuti kerja agar bisa menjenguk keadaan ibuku. Aku rindu. Ibu pasti kesepian, karena bapak sudah pergi duluan. Keluargaku tinggal aku, ibu, dan kakak perempuanku. Kakakku jauh di Bandung, bersama suaminya. Aku yang paling dekat, karena aku di Solo. Makanya, selagi sempat bisa cuti, aku akan pulang menemui ibu. Lagipula jaraknya dekat, sudahlah cukup mewakili perasaan ibu yang rindu kepada anaknya.

Butuh waktu 3 jam untuk sampai ke rumah. Mungkin 3 jam pula aku akan mengingat dia, sosok ajaib itu. Karena kota asalku itu, menyimpan segudang kenangan tentang kami. Sebelum semua berakhir muram. Aku kembali menatap keluar jendela. Kubiarkan kebisingan di dalam bus ini lenyap dan menggantikan itu dengan ingatan masa-masa silam diiringi dentingan suara piano yang mengalun lewat kabel headset-ku. White Night, dentingan sederhana Ludovico Einaudi selalu mewakili perasaanku atas banyak hal yang telah terjadi. Mungkin kau tidak ingin tahu, tapi aku tetap ingin berkisah.

            Aku tidak mengerti bagaimana cara otak dan telinga bekerja sama. Tapi impuls dari dalam melagukan suara tawanya yang renyah dan bisa kudengar. Kamu harus tahu, suara tawanya adalah salah satu lagu favoritku. Kami sama-sama suka tertawa dalam hal sekecil apapun. Kami memang sereceh itu. Tapi, kami pada masa itu adalah dua manusia yang merasa paling bahagia.

Pertama kali kutemukan dia ada di warung Bu Wit, tempat tongkrongan anak-anak sepak bola SMA. Tapi, dia tidak suka sepak bola. Terus kenapa dia ada di sana? Hahaha. Kalau aku sih, karena diajak main Febian untuk teman ngobrol menjaga warung. Febian anak Bu Wit. Dia teman sekelasku waktu SMA. Kami memang dekat sejak SMP, karena setiap ayah belum menjemputku sewaktu SMP, aku sering numpang makan dan main di warung Febian untuk menunggu ayah. Aku sering diberi makan gratis oleh Bu Wit. Dia adalah ibu yang baik dan perhatian sekali.

Temanku kebanyakan memang anak laki-laki, karena dari kecil, menurutku permainan yang mereka lakukan lebih seru daripada perempuan. Saat itu umur kami 17 tahun. Jadi, alasan manusia ajaib itu berada disana, karena dia numpang menunggu teman. Febian mengenalinya. Kau harus tahu, ternyata mereka saudara sepupu. Kau ingin tahu nama manusia ajaib itu? Terlalu cepat. Nanti saja. Yang kau harus tahu lebih dulu adalah dia seorang pemerhati yang begitu baik dan tulus.

Dia selalu tahu kapan harus datang mendengar dan membantuku tanpa aku pinta. Dia selalu tahu kapan harus mencari saat aku tersesat. Dia selalu mengerti dan bisa membacaku dalam segala gerak-gerik dan cara mataku menatapnya. Kalau aku sedang tidak baik-baik saja, dia hanya akan berusaha membuatku tertawa dengan caranya yang gila. Dia selalu tahu apa yang membuat aku senang. Entah insting dari mana, sudah kukatakan bahwa dia manusia “ajaib”.

Bersahabat dengannya membuat hari-hariku terasa seru dan unik, cuma itu yang kupikirkan tentangnya. Meskipun kami tidak pernah satu sekolah, kami seringkali bertukar cerita pengalaman, ambisi, dan diskusi. Apalagi setelah menduduki bangku kuliah. Bentang jarak antara kami adalah Solo-Yogyakarta. Kami masih sering bertukar obrolan dan informasi tentang kota dan universitas masing-masing. Dia seorang pendengar terbaik yang aku temukan di bumi. Tidak ditemukan di planet lain.

Bicara soal kesibukan, jelas ada di antara kami. Tentu memungkinkan keterbatasan komunikasi. Tanpa dijadwal, selagi sempat, salah satu di antara kami terkadang sebatas menanyakan kabar. Kami cuma bisa bertemu saat liburan. Iya, kalau tanggal liburan kami sama.

Mendengar setiap kata yang keluar dari mulutnya, aku selalu merasa tenang. Kata-kata itu menjelma makna-makna yang lucu, rumit terpikir di kepala, dan lagi-lagi kubilang itu ajaib. Lebih ajaib daripada tongkat Harry Potter. Menginspirasi dalam beberapa tulisan-tulisanku yang aku buat sejak 2016 lalu sampai sekarang dan dia tahu, karena memang aku beri tahu. Dia senang. Aku seorang penulis. Dan ini kutulis karena dia ada. Di mana? Nanti saja, kau akan tahu.

Orang bilang, gagasan-gagasannya kelewat serius dan genius pada masa itu. Karena, orang pikir umurnya belum pas untuk sering-sering berfilsafat setiap mengemukakan pendapatnya sendiri. Dia satu-satunya manusia yang mengajak bicara dengan cara yang unik dan berbeda. Pasti ada tawa di antaranya, meskipun terkesan menuntun berpikir. Menurutku, tetap dia bukan orang serius, karena saat bersamaku dia tak pernah nihil dari tawa. Laki-laki lain yang kutemukan, tidak ada yang seabsurd ini. Tapi aku suka. Selalu suka.

Sampai suatu ketika yang tidak biasa, dia mempertanyakan suatu hal yang membuatku mesti memiringkan kepala, bingung. Iya, tidak biasa. Masa itu, senja itu, saat libur kuliah menuju semester 6. Kami berdua sedang nongkrong di pinggir rel kereta api yang sudah tidak lagi dipakai. Kami sama-sama menggoyangkan kaki yang tidak sampai ke tanah. Seperti tidak ada tempat lebih layak daripada di pinggir rel kereta api untuk kami singgahi berdua. Kau mau tahu apa pertanyaannya? Kau jawab tidak pun, aku akan tetap mengatakan.

Dia bertanya, “Rara, kalau derap langkah kaki kuda adalah instrumen merdu di sepanjang jalan Malioboro Yogyakarta, bagaimana menurutmu dengan instrumen derap jantung yang tiba-tiba berlari di penghujung perjalanan manusia?”

            Dia menatapku dalam-dalam, menunggu jawaban. Dia tidak suka jawaban, ‘aku tidak mengerti maksudmu’. Dia akan senang mendengar jawabanku, apapun itu. Karena dia tidak pernah membuatku sedih, aku harus berpikir untuk menjawabnya.

            “Semerdu lagu Jatuh Cintanya Titiek Puspa mungkin.”

            Dia tertawa renyah.

            “Kenapa tertawa? Aku sedang tidak melucu!”

            “Kamu pikir manusia itu sedang jatuh cinta?”

            “Derap apa lagi yang berlari tiba-tiba pada jantung manusia kalau bukan debaran yang orang sebut-sebut dengan jatuh cinta?”

            “Siapa tahu dia serangan jantung.”

            Kami berdua terbahak, memecah udara dan disaksikan oleh manisnya senja.

            “Itu pilihan kedua, kalau dia serangan jantung.”

            Kami masih belum menghilangkan tawa.

            “Kamu pernah merasakan itu?” tanya dia.

            Aku terperangah, “Merasakan apa? Serangan jantung?”

            Dia tertawa lagi, “Bukan. Yang satunya lagi,” katanya, enggan menyebutkan.

            “Pernah. Waktu… masa pubertas. Tapi aku tahu, itu cuma cinta monyet,” aku nampak geli sendiri mengatakan cinta.

Kami belum pernah membahas tentang ini sebelumnya. Mungkin ini akan menjadi perbincangan menarik yang aku pikir pada masa itu.

            “Ternyata seleramu bukan manusia. Aku salah mengira.”

            Aku tertawa, jawabannya salah. Aku tahu dia paham, tapi dia sengaja mengartikan lain.

            “Bukan itu maksudku… ah, kamu pasti pura-pura tidak tahu. Aku yakin kamu juga pernah kan? Tidak usah dijawab.”

            “Kalau sekarang, bagaimana?” dia bertanya lain lagi.

            “Sekarang kenapa?”

            “Kamu sedang merasakan itu?”

            “Memangnya kamu sedang merasakan itu?” aku bertanya balik, karena curiga dengan pertanyaannya yang menyangkut urusan hati.

            Dia diam tiga detik, lalu mengangguk. Aku tersenyum lebar penasaran, berpikir bahwa perempuan itu pasti sama uniknya dengan dia. Aku ingin dengar ceritanya!

            “Ciee… cerita dong, cerita. Perempuan seperti apa sih yang kamu suka? Pasti orangnya seunik kamu ya? Atau lebih unik lagi? Aku penasaran…”

            “Kamu mau dengar?”

            “Mauuuu… mau banget!” kataku, bahagia sekali.

            “Dia perempuan yang biasa-biasa saja. Tidak unik, tapi lucu.”

            Aku hanya tertawa geli mendengarnya memuji perempuan itu.

            “Dia selalu membuat aku bahagia dengan tingkahnya yang sederhana. Kata-katanya tidak pernah sengaja dirangkai untuk membuat orang tertawa, tapi tetap membuatku ingin tertawa secara alami. Kalaupun bukan tawa, itu adalah senyum.

Diamnya saat mendengarkan aku bicara selalu menjelma sejuta tanya. Tapi aku tidak mau bertanya, karena merasa itu belum perlu. Biar itu jadi rahasianya dulu. Aku pikir, cukup membantu segala hal yang dia merasa kesulitan adalah cara lain yang lebih nyata untuk tahu benar apa isi hatinya. Tapi sampai sekarang, aku tidak benar-benar tahu apa isi hatinya. Mau bantu aku menemukan isi hatinya?”

            “Aku coba. Bagaimana caranya?” sebenarnya aku bingung untuk membantunya, karena menemukan isi hati manusia tidak semudah mencari benda yang lupa ditaruh di mana.

            “Cukup katakan dengan jujur, apa yang kamu rasakan untuk aku.”

            Ku kira, dia salah menyebut orang.

            “Aku?” tanyaku, tidak yakin.

            “Iya, kamu.”

            “Kamu…”

            “Iya, kamu perempuan itu.”

            Aku mengusap leherku sekali, lantas salah tingkah. Dia menyukaiku? Ya, dia menyukaimu Rara! Apa yang harus ku katakan? Aku sama sekali tidak memiliki perasaan yang sama. Aku hanya menyayangi dia sebagai sahabat. Tidak kurang, tidak lebih. Apakah itu akan menyakiti hatinya? Aku tidak mau dia sakit hati, tapi berbohong juga akan menyakiti hati. Aku dilanda kebingungan yang hebat saat itu. Tidak tahu harus bagaimana.

            “Dika…” ya, itu namanya. Dika.

Aku masih merasa kesulitan untuk menjawab sampai aku butuh waktu yang cukup lama untuk merangkai kata yang tepat. Dika masih setia menunggu, tentu saja. Tak lama, kudengar tiba-tiba Dika tertawa, seolah bercanda, padahal ku tahu, sama sekali tidak.

“Aku tidak meminta apa-apa kok. Aku hanya ingin tahu. Ngomong-ngomong, perasaan itu lucu ya, Ra? Seperti kamu. Suka bercanda. Bisa datang kapan saja, tapi juga bisa hilang semaunya.”

            Aku tidak bisa ikut bicara, karena memang tidak tahu harus bicara apa. Aku cuma bisa jadi pendengar. Dia nampak menghela napas pendek, lalu menoleh padaku, tersenyum manis menyaingi senja.

            “Aku sekarang sudah tahu. Kamu tidak perlu menjawab. Aku pikir, ini cuma sebatas saja ya, Ra. Tidak usah dipikirkan. Agak ge-er aku mengatakan ini, tapi aku harus bilang kalau aku baik-baik saja. Kamu tidak usah pikirkan ya.”

            “Maaf, Dika.”

            Laki-laki itu selalu pintar membaca aku. Lagi-lagi Dika hanya tersenyum. Laki-laki itu tidak pantas mendapatkan ketidakberuntungan ini. Aku juga tidak mengerti, kenapa perasaanku biasa-biasa saja untuknya? Aku memang tidak melakukan kesalahan, tapi aku merasa bersalah.

            “Kamu setuju kan, kalau perasaan itu suka bercanda seperti kita?” tanya Dika, kali ini meminta jawaban.

            Aku hanya mengangguk dan tersenyum miris.

            “Kalau suatu ketika nanti lamaaa sekali masih tidak hilang, berarti perasaanku sedang tidak bercanda, Ra. Hahaha…” Dika tertawa, aku tidak.

            Kamu tahu? Tentu tidak. Akan kuberi tahu, hari itu adalah hari terakhir di mana aku dan Dika bertemu, bicara, dan tertawa. Keesokan harinya ku dengar bahwa kabar kepergian Dika ke Yogyakarta dengan mobilnya mengalami kecelakaan maut di jalan perbatasan Wates dengan Kulon Progo. Dia mengalami kritis dan tidak sadarkan diri. Aku baru sampai di Solo saat mendengar kabar itu. Aku hendak melakukan tindakan gila seperti menyusulnya ke rumah sakit tempat Dika dirawat jalan, tapi ibu tidak mengizinkan dan memintaku tetap di Solo.

            Aku dapat kabar dari Febian kalau Dika tidak sadar selama 24 hari. Itu waktu yang sangat lama dan aku tidak bisa untuk tidak gelisah setiap hari. Sering sekali aku menangis memikirkan keadaannya. Perasaan kehilangan itu baru kurasakan saat dia benar-benar terluka. Di hari ke-25, dia sadar. Hal yang paling membuat aku tidak kuasa menahan kekecewaan adalah kenyataan Dika mengalami amnesia. Kau harus tahu, itu rasanya sakiiittt sekali. Sangat sakit. Bahkan ketika aku meminta Febian bertanya soal siapa Rara, Dika tidak ingat. Sama sekali tidak.

Langit seolah runtuh dan tanah sengaja kukuh untuk menghimpitku di antaranya. Aku benar-benar baru tahu rasanya kehilangan sebelum sempat mengatakan aku sayang dia. Bagaimana kalau dia benar-benar tidak akan pernah ingat siapa Rara lagi? Bagaimana kalau saat kecelakaan itu terjadi, Dika sedang mengingat tentang aku yang tidak memiliki perasaan yang sama untuknya dan kenangan-kenangan kami yang selama ini tumbuh, langsung hancur dan rusak bersama mobil yang ditumpanginya. Binasa. Aku selalu khawatir akan hal itu. Oh, Dika…. Aku rindu. Kamu di mana sekarang?

Kau tahu, sekarang aku meneteskan air mata lagi. Kurasa orang-orang di bus ini tetap tidak akan peduli aku menangis, karena mereka sibuk tertidur, makan, dan berbicara dengan penumpang di sebelahnya. Lelaki tua di sampingku saja sibuk memejamkan matanya dan mungkin bermimpi sedang makan apel di bawah pohon jeruk.

Sudah bertahun-tahun aku tidak bertanya pada Febian tentang bagaimana keadaan Dika sekarang setelah terakhir aku tanya, katanya aku tidak usah mengganggu Dika lagi, karena Dika akan menikah. Kamu tahu rasanya seperti apa menjadi Rara? Sebenarnya aku tidak rela dan ternyata aku cemburu. Kamu tahu, selama kehilangan itu baru aku sadar bahwa aku memiliki perasaan lebih dari seorang sahabat.

Tapi sebagai sahabat yang baik, bagaimana pun juga takdir sudah digariskan oleh Tuhan. Kupikir, aku tidak pantas mengganggu hidup Dika lagi yang sekarang akan resmi mempunyai teman hidup. Dan lagi, mungkin malah sekarang Dika sudah menikah dan punya anak juga. Kalau dihitung, aku sudah tidak bertemu Dika selama 5 tahun. Di umurku yang sudah 25 tahun ini, aku masih tidak tahu harus menikah dengan siapa. Aku tahu, keluargaku mengkhawatirkan itu.

            Tak terasa, tiga jam perjalanan pun tiba. Aku harus turun kalau tidak mau tersesat di kota lain. Aku bernapas lega dan tersenyum tenang saat kucium udara segar di kota kelahiranku. Di sini tidak hujan, malah panas sekali. Kalau ini mah, mataharinya bocor. Untuk sampai ke rumah, aku mesti naik kopada dua kali. Itu memakan waktu lagi. Tapi aku sudah berhenti mengingat Dika. Cukup 3 jam tadi saja. Sekarang waktunya mengingat jalan pulang.

            Aku keluar terminal dengan harus menerima konsekuensi berdesak-desakkan. Wajar saja, aku mengambil cuti, tepat di waktu mahasiswa tengah mudik. Suasana seperti itu memang selalu mencipta arus yang lebih padat dari biasanya. Tidak masalah. Ini hal yang biasa terjadi. Kurasa hanya manusia tukang mengeluh yang akan berkata ini menyusahkan.

            “Aw!”

Rintihku saat seorang lelaki menabrak bahuku tiba-tiba di depan terminal, kesal sekali. Aku nyaris jatuh karena beban di tasku sangat berat. Lelaki itu hanya mengatakan maaf tanpa menoleh, lalu cepat-cepat berjalan lagi. Seperti sangat buru-buru. Aku tidak suka dengan orang yang begitu. Tidak sopan! Aku berjalan lagi sampai tempat mengetem kopada yang jauh dari terminal agar biaya ongkosnya tidak dipermahal.

Aku berdiri di dekat warung jalan yang sudah cukup jauh dari terminal. Sesaat kulihat seorang lelaki bermasker dan berjaket jeans hitam dengan kaos abu-abu itu mensejajarkan berdirinya di sampingku. Dia baru saja membeli tisu di warung itu. Kulihat dia mengusap keningnya yang berkeringat dengan tisu. Penting sekali ya beli tisu cuma buat mengusap keringat? Aku saja yang perempuan bodo amat. Dan penting sekali juga ya aku mengomentari orang ini? Kurasa, dia juga sedang menunggu kopada.

“Mau?” tanyanya sembari menyodorkan satu pak tisu untuk aku ambil isinya sambil melihat ke arah mataku.

Tatap kami sempat beradu satu, sebelum aku membagi pandangan antara tisu dan dirinya. Aku menggeleng sambil tersenyum tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Aku memang begitu dengan orang asing, irit bicara. Lelaki itu menyakukan tisunya. Pandanganku sedikit terganggu saat lelaki itu bolak-balik menatapku. Aku tahu itu karena tertangkap oleh ekor mataku. Aku tidak tahan untuk tidak menoleh, memastikan apa yang dia mau. Aku menoleh kepadanya, menatapnya penuh dengan muka curiga. Dia menatapku juga, lama sekali. Aku mulai risih.

“Ada apa?” tanyaku sedikit ketus.

Laki-laki itu memalingkan muka sebentar, melepas maskernya. Sembari menyimpannya di saku, dia menatapku lagi. Mata kami beradu satu kembali. Disitu aku baru tidak curiga dan merasa harus menatapnya lama-lama untuk mengingat setiap detail pahatan wajahnya yang nyaris terlupa. Laki-laki itu tersenyum hangat untukku. Sehangat itu sampai aku merasa aman.

“Aku mencari kamu di Solo. Tapi tidak ketemu. Aku pulang. Dan kamu di sini. Kamu tahu? Aku terkejut. Wajah kamu sedikit berbeda ya? Atau aku yang belum begitu mengingat? Hemm,” katanya.

            Aku masih diam membisu. Tidak tahu harus bicara apa. Aku bahkan jadi lupa sekarang hari apa dan pukul berapa. Untuk mencatat bahwa hari ini dan detik ini adalah penting buatku mengingat lebih lama lagi.

            “Kamu ingat instrument derap kaki kuda itu? Setiap liburan tiba, aku datang ke rel kereta api dan mengingat kata-kataku untuk kamu. Saat burung-burung senja di rel kereta api itu berkicau mengajak sahabatnya pulang ke rumah, aku pun begitu. Pulang untuk kamu. Karena ternyata, perasaanku tidak sedang bercanda. Di situ aku mengingat banyak hal. Tentang kita.”

            Kau tahu, air mataku jatuh saat dia masih menatapku. Aku langsung menunduk untuk menyembunyikan. Tapi aku tahu, itu sia-sia. Dia sudah tahu. Aku cepat-cepat menghapusnya, lalu menatapnya lagi dengan berani.

            “Kamu nggak perlu pulang ke aku. Jaga saja istri kamu. Aku baik-baik saja kok!”

            “Istri?!” dia terdengar syock.

            “Iya, istri,” jawabku yang jadi bingung.

            “Aku belum menikah,” selanjutnya dia tertawa renyah seperti dulu.

            “Febian bilang, kamu bakal menikah waktu itu. Ya, aku pikir bahkan kamu sudah punya anak,” jelasku polos-polos menggelikan.

            “Iya, dulu akan rencana. Tapi, belum dan nggak jadi. Mendengar derap kaki kuda di Yogyakarta membuatku ingat kamu, Rara.”

            “Karena aku mirip telapak kaki kuda?”

            Dika terbahak gemas, “Nggak sama sekali, Rara.”

            “Terus?”

            “Aku mau kamu. Kamu mau?”

            Mata kami masih beradu, tapi aku belum menjawab. Dia nampak masih menunggu. Dia selalu begitu, setia. Aku suka.

            “Apa kamu sungguh butuh jawaban setelah selama ini aku sengaja untuk sendiri?”

            “Aku sungguh hanya butuh kepastian. Kan ini bukan bercandaan.”

            “Mau!”

            Hening dalam beberapa detik, lalu dia tersenyum salah tingkah. Aku senang dia bahagia.

            “Ra,” panggilnya.

            “Ya?”

            “Kamu tahu nggak apa yang teletubis lakukan kepada teletubis lain kalau mereka sudah lama sekali tidak bertemu?”

            Pertanyaan konyol macam apa lagi ini. Aku tertawa sambil memikirkan jawabannya. Belum-belum sudah diberi soal esai. Padahal aku belum belajar semalam. Dika tidak berubah. Sama sekali tidak. Kecuali dia bertambah tinggi kira-kira 10 senti.

            “Tanya apa kabar?”

            “Bukan…”

            “Apaan sih, bawa oleh-oleh nggak?”

            “Bukaaaannn… tindakan Ra, bukan ucapan. Ih, nggak asik!”

            “Eng… salaman?”

            “Hadeh, bukan Raraaa...”

            “Terus apaan?”

            “Coba pikir lagi!”

            Aku berpikir lagi dalam beberapa detik sampai aku ingat sesuatu.

            “Pe-lu-kan?” jawabku agak ragu dan penuh kehati-hatian.

            “Aku mau itu!” Dika tersenyum, lantas meraih tanganku, lalu merengkuh tubuhku dengan sepenuh hati.

Aku tersenyum dan tenggelam. Kami tertawa dan aku semakin tenggelam dalam peluknya. Apa perlu kami bilang bahwa kami saling menyayangi? Kurasa segala hal yang dilakukannya dengan tulus adalah jawaban. Kami tidak pernah lupa bahwa kami suka tertawa. Tawa, gara-gara itu kami bersama. Aku dengar, Dika membisikkan sesuatu padaku saat kami masih saling berpeluk.

“Semesta, beri tahu pada perempuan ini bahwa aku tidak akan membiarkannya sendiri lagi.”

 

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar