Postingan Rekomendasi

Tentang Penulis

Hai! Salam kenal kepada yang telah menyempatkan diri untuk membaca tulisan-tulisan random ini. Haricahayabulan merupakan nama pena saya. ...

Minggu, 28 Juni 2020

Aib

Karya: Haricahayabulan

Bayang-bayang wajah seorang anak merangkak keluar dalam kepala Bahri. Dua titik air jatuh pelan-pelan membasahi wajah pasrahnya dalam menahan kekosongan akal. Bahri terisak-isak sembari sesekali melumati bibir botol berbau alkohol, lantas meneguknya berkali-kali. Bayangan wajah lain mengikuti, begitu dalam kekecewaan Samina terhadapnya sore tadi.

            “Kamu tahu. Aku tahu. Dulu kamu berjanji akan beri saya bahagia. Berapa lama lagi saya mesti menunggu kebahagiaan keluarga ini?” ucap Samina dengan muka yang tak tahan untuk tidak menatap Bahri dengan amarah.

            “Lihat! Lihat Asa! Buah cinta kita yang kamu biarkan dia terbujur kaku di ranjang pesakitan itu? Tega kamu biarkan Asa disana? Kamu dengarkan dokter memvonis penyakitnya yang serius itu? Uangku tak cukup untuk biaya operasi Asa. Aku mengurus Asa di rumah dan kamu kerjalah Mas!” Samina kembali berseru dengan perasaan yang lebih menggebu-gebu dari sebelumnya.

            “Aku ini juga sedang berusaha. Kamu tidak tahu seberapa sulit aku mencari kerja di luar sana? Orang-orang berdasi itu selalu plin-plan memilih pekerja,” jawab Bahri, membela diri.

            “Kamu saja yang tidak becus mencari kerja. Kalau kerja kantoran tak bisa menerimamu, pintar-pintarlah cari kerja di tempat lain. Kerjamu itu hanya makan, tidur, makan, tidur. Selalu aku yang kerja mengurus semuanya. Kamu pikir aku pembantu kah? Aku capek seperti ini terus Mas! Kalau Tuhan tidak membenci perceraian, aku ingin cerai!” Samina berkali-kali mendesah resah dalam isak tangisnya.

            “Cerai pun tidak menyelesaikan masalah Samina… aku mencintaimu! Aku pasti mencari uang untuk pengobatan Asa.”

Samina berdecak “Halah! Pasti, pasti. Tapi pulang pun tak membawa apa-apa. Aku menyesal memilihmu dulu! Cintamu ini menyakitiku, Mas.”

            Pening di kepala Bahari semakin menjadi hingga seketika bayang-bayang Asa dan Samina lenyap serta terhambur dalam pecahan botol alkohol. Sempoyongan Bahri berjalan hingga hampir jatuh sesekali kalau pohon-pohon besar di pinggir jalan tidak ia gunakan sebagai penyangga tubuhnya.

            Napas Bahri memburu bersama air mata yang terus membasahi pipi. Ia cinta betul Samina. Perempuan itu hanya tidak tahu bagaimana ia sudah berusaha di luar sana. Kota ini sulit menerimanya. Bahri telah pasrah sebelum ia berusaha lagi. Batinnya menjerit-jerit memaki Tuhan yang buatnya tak adil mengatur hidupnya. Ia sudah berdoa berkali-kali tapi Tuhan tak segera memberi. Sudah begitu sabar Bahri menunggu jawaban, tapi ia tidak juga menemukan. Hingga batas sabar yang Bahri punya pupus perlahan. Ia putus asa, ingin mati. Dengan itu mungkin masalahnya akan selesai. Tapi tidak. Ia cinta Samina dan Asa. Bahri tidak ingin meninggalkan keduanya.

Begitu dalam ia teringat bagaimana usaha keras Bahri berhasil menyunting Samina. Benar, Samina benar. Ia telah menyakitinya. Perempuan itu yang selalu mewujudkan cintanya dalam rumah tangga mereka dengan mengurus Asa dan dirinya. Perempuan itu yang bekerja untuk mendapatkan sesuap nasi. Sementara Bahri, belum menemukan apa yang harusnya ia lakukan sebagai seorang suami selama ini.

Pria itu terus melangkah gontai hingga sebuah rumah memberikannya harapan. Ia tahu betul siapa pemiliknya. Samina bekerja disana, tapi dia tidak mau mengutang pemilik rumah ini. Alasannya hanya karena mereka sedang membutuhkan untuk naik haji. Padahal, pemiliknya sudah haji berkali-kali. Tentulah uang yang mereka punya sangat banyak. Apa pula buat Bahri miliki saja untuk biaya pengobatan Asa yang sudah sekarat.

Sempoyongan Bahri mendekat kesana. Pagar batu ini tidak terlalu tinggi. Bahri bisa memanjat pohon besar jalanan terlebih dahulu untuk sampai ke atas sana dan turun dengan pohon mangga yang ada di dalam rumah pemiliknya. Entah bagaimana, Bahri merasa pemiliknya terlalu bodoh menciptakan jembatan ini untuk manusia sepertinya bisa mengendap-ngendap masuk pekarangan rumahnya tanpa ketahuan. Bahri mengambil sarung yang terjemur disana sembarangan, lantas mengenakannya di kepala untuk menyamarkan diri. Pintu dapur di belakang rumah ini menjadi targetnya.

            Seorang pria berdagu tirus dan berkumis tipis itu meletakkan kopiah dan lipatan sajadahnya di atas lemari terbuka. Kemudian berjalan menuju ruang kerja. Membuka kembali brankas uang yang ingin sekali ia sumbangkan kepada seseorang beberapa rupiah. Mendengar kabar para tetangga, serta ketidakhadiran perempuan itu lagi dalam membantu Hana, istrinya, di rumah. Dada Habibi sesak mengetahui kabar itu. Ia jadi teringat anak pertamanya yang sudah tiada karena suatu hal yang sama. Perempuan itu bilang, ia tidak bisa bekerja karena ingin cuti. Ternyata, tidak sebenar-benarnya Samina cuti.

            Suara pintu terbuka di jauh sana, dalam rumahnya, tertangkap jernih dalam telinga Habibi. Mungkin itu Hana hendak ke toilet, pikir Habibi. Ia masih terus menghitung uang-uang lembaran itu di tangannya.

            Dalam pandangan matanya yang agak kabur, Bahri menjelajah seisi ruang dapur. Mencari-cari sesuatu yang bisa ia gunakan untuk bertahan diri di dalam sini. Sampai sebilah benda berkilat yang sering orang-orang gunakan untuk mengiris daging menjadi fokus pencarian Bahri. Diambillah benda itu, lantas ia akan memulai permainannya. Pelan-pelan ia memasuki ruang tengah sembari sesekali melendoti tembok-tembok putih untuk menjaga keseimbangan tubuhnya.

            Ada banyak pintu yang dapat Bahri pilih untuk ia ambil benda-benda berharganya. Tapi, tentu benda berharga yang mudah untuk ia bawa lari disaat sendiri. Atau naik ke atas tangga untuk menemukan dimana uang-uang itu berada? Terlalu jauh buatnya untuk sampai disana. Bahri pun memilih pintu paling dekat dari tempat ia berdiri.

            Ternyata itu adalah sebuah kamar. Di atas ranjang itu, Bahri melihat jelas seorang Hana terlelap sendirian. Melihat Hana seperti ia melihat Samina. Parasnya tetap cantik meski wanita itu memejamkan mata dan meski Bahri juga tidak dapat melihat indahnya mata hawa menawan hati para adam. Hana sempat menggeliat merasakan udara dingin dari luar meniup pori-pori kulitnya. Dibukanya sebuah lemari pelan-pelan oleh Bahri. Bahri menerka bahwa uang itu ada di sini, pikirnya berkali-kali, meyakinkan diri.

            Tanpa Bahri sadari, Hana mengerjapkan matanya perlahan. Berpikir kalau yang membuka pintu baru saja adalah Habibi, tapi herannya kenapa tidak segera ditutup kembali. Melihat orang lain yang begitu asing di mata Hana telah memasuki ruang pribadinya sembari membongkar-bongkar isi lemari, Hana spontan berteriak. Wanita itu terlalu terkejut melihat keberadaan pria tidak dikenal itu dalam rumahnya.

            Praktis Habibi mencium suatu ketidakberesan di rumahnya. Pikirannya linglung. Istrinya berteriak, sementara di tangan dan di hadapannya sedang tersedia uang berjuta-juta, dan anak-anaknya mungkin juga sedang ketakutan di kamar masing-masing. Sebab keluarganya lebih berharga daripada uang ini, Habibi berpikir cepat-cepat dan mencari-cari solusi yang bisa menyelamatkan keluarganya sekarang.

            Bahri pun tersentak mendengar teriakan Hana, lantas menodongkan pisau di tangannya, tepat di hadapan manik mata Hana. Tubuh wanita itu bergidik ngeri, sembari dalam hatinya merapal doa-doa keselamatan. Bahri mengancam.

            “Dimana uang-uangmu? Katakan!” ucap Bahri lirih, tapi menindas. “Kubunuh kau kalau tidak mau mengatakannya!”

            Hana menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kegelisahan diri yang sendirian. Ia yakin Habibi dengar teriakannya di luar sana atau Habibi sudah tidak baik-baik saja di luar sana. Hana semakin gelisah.

            “Tuhan melihatmu!” tegas Hana disela-sela kegelisahannya.

            Bahri berdecak, “Aku tidak peduli. Tuhan tidak adil denganku! Katakan, dimana!”

            Langkah Bahri semakin mendekat hingga Hana sempat memejamkan matanya kuat-kuat. Tapi, wanita itu memberanikan diri untuk membuka mata lagi. Benda itu seolah akan menggores kulit wajahnya hingga terluka. Bahkan sangat mungkin bisa menusuk perutnya berkali-kali kalau-kalau penjahat ini psikopat. Hana merasa bahwa pria di hadapannya ini tidak gentar. Tangannya bergidik hanya untuk segera melukai dirinya. Hana yakin, pria ini masih takut dengan apa yang akan dia lakukan selanjutnya kalau Hana tidak segera mengatakan di mana uang-uang itu berada.

            “Setelah kau bunuh aku pun, kau tidak akan mendapatkan apa-apa. Kecuali hanya rasa bersalah yang akan membuat kau menjadi gila!”

            “Kau tahu? Tuhan sudah buat anakku sekarat! Tuhan sudah buat istriku membenciku! Tuhan tidak adil!” Bahri tertawa sendiri dengan kekecewaan yang dalam, “Bahkan orang-orang kota ini tidak menerimaku untuk bekerja. Manusia terlalu banyak yang egois untuk memilih! Sampai-sampai orang sepertiku jadi menderita karenanya.”

            Hana semakin yakin bahwa orang ini tidak biasa mencuri, dia hanya orang yang putus asa.

            “Kembalilah lagi pada keyakinanmu. Kau hanya belum sabar dan ikhlas pada-Nya.”

            “Aku sudah sangat bersabar menanti semuanya! Katakan dimana uangnya?! Atau benda ini akan melukaimu!”

            “Lukai saja pengecut! Beraninya kau hanya menggertak, tapi tak segera melakukannya. Jika pun akhirnya aku mati, kau pula yang akan sengsara. Uang itu lebih berarti untuk kuberikan kepada orang yang membutuhkan, daripada kepada pengecut sepertimu!”

            Suara kentongan dan teriakan warga diluar sana spontan memberi tanda untuk Bahri berhati-hati. Bahri menerka, itu mungkin ulah Habibi yang memanggil warga terdekat yang berjaga di luar untuk datang menyelamatkan Hana. Terpaksa Bahri berangsur mundur lebih takut, lantas membuka jendela kamar untuk melarikan diri. Hana sengaja membiarkan laki-laki itu pergi tanpa ia harus melakukan apa-apa.

Wanita itu seperti mengenal siapa penyelundup tadi. Mungkin ia salah, mungkin ia benar kalau pria tadi adalah Bahri. Hana menggeleng-geleng cepat kepalanya, mencoba untuk tidak berpikir negatif atas perkiraannya. Khawatirnya ini merupakan salah satu buruk sangkanya terhadap suami Samina, perempuan yang telah begitu baik menemani hari-harinya dan selalu menegur halus kesalahannya. Apapun, termasuk ketika Hana yang seringkali masih meratapi kematian anak pertamanya karena kanker kelenjar getah bening. Habibi membuka ruang di mana Hana berada ketika Bahri sudah pergi dari sana.

            “Kamu tidak apa-apa?” tanya Habibi khawatir.

            “Aku baik-baik saja. Terima kasih.”

            “Apa yang terluka?”

            “Dia tidak melukaiku, Mas. Dia juga tidak mencuri apa-apa.”

            “Syukurlah… Tuhan melindungimu. Ikut aku keluar. Anak-anak sudah di luar. Warga sedang mencari penjahat itu. Aku khawatir dia masih ada di sekitar rumah ini. Ayo!”

            Hana hanya menurut sembari mengikuti Habibi keluar rumah. Di luar bagian samping kamarnya, Habibi menemukan sebilah pisau miliknya tergeletak di tanah. Habibi beristighfar berkali-kali atas perlindungan Tuhan terhadap Hana dalam kondisi bahaya.

            Subuh hari, Samina baru saja merampungkan ibadahnya dan melipat mukena. Ia dengar Bahri mengetuk pintu rumah. Cepat-cepat ia ke sana dan membukakan pintu. Air mukanya sudah menampakkan kekecewaan untuk kesekian kalinya. Bahri masuk rumah, Samina menutup pintu. Mencium bau alkohol dari pakaian Bahri, Samina curiga

“Kamu minum-minum Mas?”

            Bahri hanya menatap Samina sekilas tanpa jawaban.

            “Sudah salat subuh? Semalam kemana, subuh hari begini baru pulang?” interogasi Samina dengan kerutan kening yang dalam, penasaran.

            Bahri masih tidak menjawab, lantas melepas pakaiannya yang berbau alkohol untuk kemudian dimasukkan ke keranjang pakaian kotor, dan masuk ke toilet untuk mandi. Samina tidak salah, pakaian Bahri memang berbau alkohol. Pikiran manusia yang tidak lepas untuk curiga dan berburuk sangka pada hal-hal yang sudah nampak jelas negatif, membuat Samina merasakan hal demikian. Ia mencium ketidakberesan pada sikap Bahri subuh ini.

            Dilihatnya oleh Samina bahwa Bahri telah membasuh dirinya dengan air wudu. Samina belum mau berkata-kata meski ia curiga. Ia biarkan Bahri melangsungkan kewajibannya kepada Tuhan. Sementara Samina menyiapkan bubur untuk Asa makan. Saat dalam doa, Samina dengar Bahri terisak di kamarnya. Samina tidak salah dengar, Bahri memang terisak. Mungkin ada sesuatu yang membuat suaminya sadar suatu hal. Samina menjadi iba. Ia biarkan Bahri menyelesaikan urusannya dengan Tuhan dan beristirahat, sementara Samina memasak makanan untuk Asa dan suaminya.

            “Kamu belum menjawab pertanyaanku subuh tadi Mas…” ucap Samina setelah lebih halus sembari mendekati Bahri yang baru selesai makan siang. “Semalam kamu kemana?”

            Bahri nampak tak ingin sekali menatap Samina. Seperti menyembunyikan sesuatu yang sangat tidak ingin Samina ketahui. Bahri berjalan menjauh ke ruang tengah tanpa jawaban. Padahal Samina sudah menunggu waktu yang tepat untuk bicara dengan Bahri.

            “Mas… jawab aku! Kamu ini kenapa? Ada masalah? Kamu selalu begini. Diam. Tahu-tahu masalah sudah menjatuhi keluarga kita. Aku ini istrimu. Aku selalu mau mendengarkan kamu. Tapi kamu tidak menghargaiku,” Samina tidak tahan untuk mengeluhkan sikap Bahri.

            Bahri membalik badan, lantas menyentuh sebelah bahu Samina, “Bukan Samina, bukan! Aku menghargaimu. Aku hanya…” Bahri menghentikan kalimatnya.

            “Hanya apa? Katakan! Aku berhak tahu.”

            Bahri mengusap punggung tangan Samina, “Maafkan aku, Samina. Maafkan aku atas segala hal yang membuat kamu kecewa. Maafkan aku yang telah menyakitimu hingga membuatmu kecewa denganku. Aku bingung akan mulai menjelaskan bagaimana dan dari mana. Tapi satu hal, aku mencintaimu itu benar Samina. Jangan tinggalkan aku.”

            Samina menghela napas pendek perlahan, “Tidak Mas. Aku akan tetap di sini. Tapi tolong kamu berubah. Berhentilah berbuat hal-hal yang Tuhan larang. Jangan segala masalah kamu pendam sendiri. Aku jadi tidak mengerti dengan kamu. Sekarang ceritakan. Ada apa dengan kamu semalam. Aku akan dengarkan.”

            Bahri meminta Samina untuk duduk bersama.

“Aku tahu, ini salah besar. Aku hilang akal. Aku putus asa. Bukannya aku tak mau berusaha. Tapi Tuhan sedang mengujiku. Dan aku hampir lalai. Aku akan ceritakan. Tapi aku harap kamu tidak menghakimiku.”

            “Ya. Akan aku usahakan Mas. Ceritakan.”

            “Aku kacau ketika kamu bilang ingin cerai. Aku sungguh mencintaimu Samina. Kamu benar, semalam aku minum. Maafkan Aku. Aku khilaf.”

            Dada Samina rasanya sesak, ia merasa bersalah, “Aku juga salah Mas. Tidak seharusnya aku bicara seperti itu. Amarahku lebih besar daripada sabarku. Maafkan aku juga Mas.”

            Bahri tersenyum hangat.

            “Tapi, kalau hanya minum, lantas kenapa kamu bisa sampai subuh? Di mana kamu tidur?”

            “Aku tidak tidur di mana-mana Samina. Aku hanya takut…”

            “Takut apa?”

            “Takut membawa aib untukmu.”

            “Aku tidak mengerti maksudmu Mas. Aib apa? Kamu tidak jalan dengan wanita lain kan?”

            “Sungguh bukan itu Samina. Ini aib yang lain.”

            “Ya, katakan. Aib apa itu? Aku tidak mengerti.”

            Belum sempat Bahri mengatakan aib apa yang dimaksudkan, terdengar suara ketuk pintu dari luar rumah mereka yang memecahkan pembicaraan antara Samina dan Bahri.

            “Biar aku saja yang membuka,” ucap Bahri.

            “Aku ikut Mas…” jawab Samina sembari mengekori Bahri.

            Kedatangan Habibi dan Hana sangat mengejutkan Bahri. Jantungnya berdetak memburu seolah-olah merasa bahwa mereka datang karena menyadari penjahat yang semalam ke rumah Habibi adalah dirinya, lalu Bahri akan dihakimi. Tapi bukan itu tujuan kedua suami istri itu datang. Mereka justru datang untuk menyumbang sejumlah dana demi memberi kemudahan dalam pengobatan Asa, anak Bahri dan Samina.

Dalam hatinya, Bahri tak karuan. Rupanya orang yang Hana maksud untuk diberi bantuan adalah keluarga Bahri, sementara semalam Bahri hampir saja berniat untuk membunuh dan merampok rumahnya. Cepat ia sadar dan mendapatkan pelajaran bahwa Tuhan menutup aibnya, namun Tuhan berikan rezeki yang datangnya tanpa Bahri duga. Rasa bersalahnya masih berkecamuk di dalam dada.

Segera Bahri bersimpuh kepada Habibi dan mengucapkan terima kasih serta ucapan maaf berulang-ulang sambil menangis. Habibi memintanya berdiri dan merasa tidak perlu Bahri melakukan tindakan tersebut. Hana berprasangka baik dengan tanda maaf Bahri kepada suaminya. Hana tidak ingin membahas apa yang menjadi praduganya terhadap Bahri. Ia hanya mendoakan hal baik kepadanya dalam hati agar apa yang telah terjadi semalam dapat menyadarkan rasa putus asa Bahri bahwa Tuhan selalu ada bersama orang-orang yang sabar dan mau bertaubat.

TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar