Seperti mimpi buruk yang diletakkan di atas piring. Rupanya tidak menarik dan membuatnya tidak ingin makan lagi pagi ini. Porsinya selalu berisi makanan-makanan yang sama bernama ketakutan. Ia tidak ingin mengingat. Tapi ketakutan yang lapar itu mengunyah pikirannya tanpa ampun. Dilumatnya ia hingga merata. Ditelannya ia hingga kenyang. Pikirannya mulai berkecamuk. Harusnya sebelum pagi tiba, ia ikut tenggelam bersama bulan saja agar orang-orang tidak mencari-carinya di pagi hari.
Miss Gigi baru saja memasuki ruang kelas dengan membawa map plastik berwarna merah dan berlembar-lembar kertas gambar. Murid-murid penasaran, Ann tidak. Miss Gigi menyapa murid-muridnya dengan ucapan selamat pagi disertai senyum riang gembira dan langsung dibalas dengan hal serupa oleh murid-muridnya, Ann tidak. Semuanya menyenangi pelajaran Miss Gigi yang tidak pernah membosankan, Ann tidak.
Wanita itu membagikan lembaran putih tanpa garis itu kepada muridnya, masing-masing satu anak satu lembar. Lantas dia meminta murid-muridnya untuk menggambar tentang masa depan mereka pada kertas gambar yang Miss Gigi berikan. Buru-buru mereka menekuni pekerjaan masing-masing dengan memikirkan apa-apa yang harus mereka gambar setelah kertas itu sampai di tangan mereka. Ann tidak.
Pada barisan belakang ada yang bisik-bisik bertanya pada temannya, “Kamu menggambar apa?” atau “Masa depanmu apa?” Di sisi kanan ada yang tertawa-tawa melihat gambar temannya sendiri. Di depannya lagi, samping kiri, sudut, memilih diam dan tekun menggambar ilusi yang menari-nari di dalam kepalanya masing-masing. Semuanya terus berpikir dan menggambar dengan riang gembira, Ann tidak.
Gadis kecil itu hanya memandangi kertas gambarnya yang masih bersih tanpa segores pensil pun dan anak-anak lain juga tidak tahu apa yang sedang Ann pikirkan. Mereka sudah terbiasa dengan kebiasaan Ann yang punya dunianya sendiri. Ann hanya nampak terus mengerutkan kening dan seolah-olah sedang berpikir keras, tapi tidak menghasilkan apa-apa. Tangannya memegang pensil, tapi ia tidak kunjung menggambarkan masa depan yang ada dalam benaknya. Sampai Miss Gigi menghentikan langkahnya di samping Ann dan dirinya merasa harus bicara pada gadis kecil itu.
“Ann, kamu baik-baik saja?” tanya Miss Gigi yang merendahkan suaranya di dekat telinga Ann.
Gadis itu masih diam. Terus diam dan selalu begitu. Tidak mengalihkan pandangan, juga tidak menjawab. Tidak dapat dipungkiri bahwa Miss Gigi bingung harus menanggapi anak ini seperti apa. Gadis kecil yang dia ketahui bahwa Ann adalah murid baru. Baru beberapa bulan ia sekolah di sini, tapi gadis itu tidak pernah bicara, kecuali hanya sesekali mengangguk, menggeleng, dan memalingkan wajah. Pertama kali Ann datang ke kelas ini pun tidak memberikan kesan apa-apa. Ia tidak mau memperkenalkan dirinya dan saat ditanya juga diam saja.
Teman-temannya bilang Ann bisu, tapi Ann tidak bisu. Yang lain bilang Ann orang aneh, Ann tidak merasa begitu meski ia hanya berucap dalam hatinya. Nay, kakak Ann sendiri bilang kalau Ann itu tidak bisu. Ann memang begitu, anaknya pendiam dan tertutup. Ann sulit mendengarkan orang lain. Di rumah juga sulit diatur. Kalau diajak bicara tidak pernah menjawab. Nay kualahan untuk mengetahui kenapa Ann tidak pernah bersuara.
Itu yang Miss Gigi dengar dari Nay tentang adiknya sendiri di ruang kepala sekolah beberapa minggu lalu untuk menjelaskan kepribadian Ann yang membuat guru-guru kualahan mendidiknya di sekolah. Miss Gigi pikir, tidak akan ada kejanggalan jika tidak ada masalah. Mungkin dalam sikap Nay terhadap Ann, masa lalu, atau masalah dalam diri Ann sendiri. Wanita itu ingin berusaha untuk mencari tahu.
Miss Gigi mengusap punggung Ann dengan penuh kasih seperti mengusap punggung anaknya sendiri. Ann adalah seorang anak yatim piatu sejak umur 6 tahun. Ya, itu Gigi dengar juga dari cerita Nay. Dara muda itu hanya bilang kalau orang tua mereka sudah tiada, lalu mereka tinggal bersama saudaranya sampai Nay lulus kuliah dan setelah dia mampu bekerja, Nay dan Ann tidak lagi tinggal bersama karena tidak mau merepotkan saudaranya itu lagi.
Nay tidak begitu mengamati sejak kapan Ann mulai berubah dan jarang berbicara sampai akhirnya seolah Ann kehilangan suaranya. Yang pasti anak itu memang pendiam sekali setelah kematian ayah dan ibunya. Puncaknya adalah sekarang ini. Ann benar-benar sulit dia mengerti. Di rumah sering melamun, suka menyendiri, dan disaat Ann pikir tidak ada orang, Ann berbicara dan tertawa sendiri dengan racauan yang Nay tidak mengerti. Nay masih sering dengar itu sampai sekarang. Ketika dihampiri dan ditanya, Ann langsung diam. Enggan bicara lagi. Hal itu membuat Nay seringkali merasa ngeri dengan adiknya sendiri.
“Waktunya hampir habis, ayo segeralah menggambar tentang masa depanmu ya? Ann pasti punya masa depan kan? Teman-temanmu sudah hampir selesai loh. Nanti kalau tidak selesai, Ann tidak bisa dapat nilai,” jelas Miss Gigi lagi.
Ann masih tidak menjawab, tapi dia anggap Ann mendengar ucapannya. Miss Gigi menghela napas pelan, lantas beralih mengusap rambut Ann dan meninggalkannya. Dia memilih duduk di kursi gurunya sembari mengamati Ann yang mulai menggerakkan tangannya untuk menggambar di kertas gambarnya. Miss Gigi tersenyum sendiri. Dia yakin bahwa Ann selalu mendengarkan orang-orang berbicara di sekitarnya. Anak itu tidak bandel menurutnya, tapi mungkin ada sesuatu yang salah dalam dirinya yang membuatnya terus diam dan tidak berminat untuk bicara. Miss Gigi merasa begitu.
Kegiatan belajar mengajarnya habis. Miss Gigi meminta muridnya untuk maju satu per satu mengumpulkan hasil gambarnya. Mengoyak-oyak murid yang masih berlama-lama agar cepat mengumpulkan. Sampai semua anak sudah mengumpulkan, Ann masih menggambar. Dengan terpaksa Miss Gigi harus mendekat dan mengambil kertas gambar Ann, karena Ann tidak mau menjawab panggilannya dan tidak mau menoleh sama sekali kepadanya.
“Ann, waktu sudah habis. Sudah ya, ayo dikumpulkan…,” ucap Miss Gigi dalam perjalanan menuju meja Ann, hendak mengambil kertas gambarnya.
Ann masih tidak menoleh dan sibuk menggambar dengan serius. Gerak tangannya cepat sekali di kertas gambar, caranya memegang pensil terlalu kuat dan ditekan pada kertas gambar sehingga membuat Miss Gigi penasaran sekali dengan apa yang Ann gambar dengan begitu serius.
“Ann!” tegas Miss Gigi sembari mengambil paksa kertas gambar Ann dan melihat apa yang Ann gambar.
Disitu Miss Gigi menarik napas dalam dengan bibir sedikit terbuka. Matanya melirik Ann. Dia membagi pandangan antara Ann dengan gambarnya disertai keterkejutan yang bahkan tidak pernah dia pikirkan. Miss Gigi melirik Ann yang menatapnya tajam. Miss Gigi berusaha menjaga perannya agar murid-murid lain tidak penasaran dan bertanya dengan perubahan ekspresi wajahnya yang mendadak itu.
Seolah tidak ada apa-apa, Miss Gigi tersenyum semanis madu pada semua muridnya dan berterima kasih karena sudah mengerjakan tugas mereka dengan baik. Kecuali Ann, pikirnya. Bahkan di saat Miss Gigi sudah kembali ke depan kelas, Ann masih menatapnya tajam. Nay benar, Ann juga baru saja membuatnya ngeri dengan isi gambarnya. Miss Gigi sangat yakin bahwa memang ada yang salah dengan Ann.
…
Anak gadis kecil itu duduk di ayunan taman sekolah. Hanya duduk, tidak memainkan ayunannya, tapi kakinya yang mengayun. Bibirnya bergerak-gerak dan mengeluarkan suara yang terdengar nyaring. Dia menyanyi. Rambutnya sebahu dan dibiarkan terurai. Wajahnya sangat pucat seperti orang sakit parah. Seragam sekolahnya terlihat kotor. Bahkan ada noda merah darah merembes di seragamnya. Dia terlihat begitu menikmati kesendiriannya di sana, sementara teman-teman lain terlihat asik berlari kesana kemari dan tertawa tanpa gadis kecil itu hiraukan.
Ann satu kelas dengan gadis itu. Tapi Ann tidak pernah tahu namanya. Gadis itu selalu memberi senyum manis pada Ann setiap dia melihat ke arahnya. Kalau di kelas, gadis itu selalu duduk di kursi depan paling pojok, tepat di depan meja guru. Anak itu sama seperti Ann. Pendiam, tidak pernah bicara. Tidak punya teman. Tapi selalu hanya Ann yang dipermasalahkan karena tidak pernah bicara di kelas. Ann ingin mengajaknya bicara. Langkah Ann semakin mendekat dan gadis itu menyadarinya. Dia menatap Ann dan melempari Ann senyuman.
“Hai, boleh aku menjadi temanmu? Aku sendirian,” kata Ann.
Gadis itu tertawa, “Tentu saja.”
“Namamu siapa?”
“Amanda. Kamu?”
“Aku Ann.”
Amanda tersenyum, begitu juga dengan Ann.
“Mukamu pucat. Kamu sakit?”
Amanda menggeleng, “Aku baik-baik saja.”
“Seragam kamu kotor dan berdarah. Kamu habis ngapain?”
Amanda tertawa, “Aku duduk di batu bekas pondasi sekolah bersama temanku. Kami sedang asik bicara tentang masa depan. Tapi tiba-tiba pondasi yang aku jadikan tempat duduk longsor. Aku ikut jatuh dan kepalaku membentur pohon juga batu bekas pondasi itu. Kepalaku berdarah. Makanya seragamku jadi kotor dan banyak darah. Aku jatuh disana,” Amanda menunjuk tempat di mana dia jatuh.
Ann melihat di mana Amanda menunjuk. Tidak jauh. Pohon yang Amanda maksud itu juga ada di sekitar ayunan ini. Hanya saja pondasi yang Amanda bilang sudah tidak ada. Mungkin sudah direnovasi. Baru saja Ann mau bicara, Amanda sudah bersuara duluan.
“Tolong aku Ann,” wajah Amanda mendadak berubah. Dia terlihat sangat sedih.
“Tolong bagaimana?”
“Aku kangen mama.”
“Aku harus apa?”
“Bilang ke mamaku kalau Amanda sayang mama. Mama adalah mama yang luar biasa buat Amanda. Amanda nggak mau mama sedih terus karena Amanda pergi. Amanda nggak bisa tenang.”
“Kenapa kamu nggak bilang sendiri?”
“Nggak bisa Ann. Kamu yang bisa menolongku.”
“Kenapa aku? Memangnya kamu nggak pulang?”
“Aku nggak bisa pulang. Tolong aku Ann.”
“Kenapa nggak bisa?”
“Aku sudah mati, Ann.”
Mendengar kata ‘mati’, tubuh Ann mendadak merinding. Ia terkejut. Amanda tersenyum. Kalimat yang menyatakan Amanda sudah mati membayangi pikirannya. Ann tahu bahwa mati itu artinya tidak ada lagi di dunia. Yang membuat Ann tidak mengerti kenapa Ann bisa berbicara dengan orang mati. Ann berlari meninggalkan Amanda karena ketakutan Ann kepada kenyataan yang Ann dengar. Ann sempat menoleh ke belakang untuk memastikan apakah Amanda masih duduk di ayunan atau tidak. Saat menatap ke sana, Ann melihat sosok Amanda dengan wujud berbeda dan mengerikan. Darah nyata mengalir di kepala Amanda yang masih menatapnya. Ann semakin ketakutan dan kembali lari dengan terbirit-birit.
Semenjak saat itu keseharian Ann tidak pernah tenang. Berkali-kali ia dengar Amanda meminta tolong kepadanya, tapi sosoknya kadang-kadang tidak ada dan kadang-kadang muncul dengan wujud mengerikan yang terakhir Ann lihat. Berkali-kali juga Ann dengar suara lain yang bukan Amanda. Semuanya berteriak meminta tolong pada Ann. Telinga Ann penuh dengan pecahan tangis, teriak, kesakitan, dan tawa mengerikan. Sangat sering Ann dihantui oleh sosok-sosok mereka yang membutuhkan bantuannya atau yang hanya menakut-nakutinya dengan suarany atau ketukan di jendela, pintu, meja, atau benda-benda yang ada di sekitar Ann. Tatapan mereka menyedihkan, mengerikan, pucat, dan membuat Ann sangat takut.
Tatapan seperti itulah yang seringkali Ann temui di sekolah, di loteng rumahnya, di jalan, di sudut-sudut ruang gelap, di pohon yang tumbuh besar di samping kamarnya, di berbagai tempat. Semuanya. Hal ini yang membuat Ann selalu ketakutan dan diam. Ann merasa diawasi, diikuti, dan dibayangi. Mimpi buruk yang selalu Ann alami dengan mata terbuka.
…
Miss Gigi tak lepas memandangi Ann yang menunduk sambil meremas kedua tangannya kuat-kuat seperti menahan sesuatu yang tidak ingin Ann lihat. Di ruang persegi empat itu yang di depan pintunya dipasang papan nama bertuliskan ‘Ruang BK’. Hanya ada Ann dan Miss Gigi berdua disitu. Miss Gigi menahan Ann untuk tidak pulang sejenak. Miss Gigi ingin mengajaknya bicara empat mata dan Miss Gigi ingin Ann menjelaskan maksud dari gambar yang Ann buat. Nay tahu Miss Gigi ingin bicara dengan Ann sebentar, Nay menunggu Miss Gigi selesai dengan Ann di luar ruang BK.
Miss Gigi meletakkan kertas gambar Ann di meja dan menghadapkannya kepada Ann. Gadis kecil itu menggambar seorang anak kecil perempuan yang menyedihkan dengan seragam sekolah dan matanya mengeluarkan air mata. Lalu Ann membuat arsiran tidak beraturan di sekitarnya dan tulisan seperti ‘tolong’ dan ‘aku sudah mati’ sebagai akhir dari hasil gambarnya. Lebih tepatnya Ann berusaha menggambar sosok Amanda.
“Ann jelaskan ya maksud dari gambar Ann? Miss Gigi mau dengar. Ann tidak usah takut. Miss Gigi tidak akan marah sama Ann. Miss Gigi hanya ingin membantu Ann,” kata Miss Gigi dengan hati-hati.
“Ann? Ann dengar Miss Gigi bicara kan? Miss Gigi yakin Ann dengar. Ann bisa cerita. Miss Gigi ada di sini. Ann tidak usah takut,” ulang Miss Gigi meyakinkan Ann.
Ann masih tidak menjawab dan masih dengan posisi yang sama. Miss Gigi bangkit dan duduk mendekat di samping Ann. Miss Gigi memeluknya dan barulah dia sadar kalau tubuh Ann gemetar.
“Ann… Ann kenapa sayang?” tanya Miss Gigi panik.
Ann masih diam.
“Ann… jawab. Miss Gigi akan bantu Ann, sayang,” Miss Gigi mengusap rambut Ann, lalu memeluknya lagi.
“Ann takut…” kata Ann dengan sangat lirih dan gugup.
Untungnya Miss Gigi bisa mendengar jawaban Ann yang akhirnya mau bersuara. Air mata keluar dari kelopak mata Ann yang mungil. Miss Gigi mengeratkan pelukannya kepada Ann.
“Apa yang membuat Ann takut? Ann takut sendirian? Atau ada teman Ann yang jahat? Miss Gigi akan bantu Ann.”
“Mereka semua minta tolong. Mereka mengganggu Ann setiap hari.”
Miss Gigi mengernyit karena tidak paham.
“Siapa yang minta tolong? Siapa yang mengganggu Ann?”
“Mereka…”
“Mereka siapa Ann?”
Ann tidak lagi berani bersuara. Ia terus menangis sesenggukan dan semakin takut. Sebab saat Ann bicara jujur begitu juga ada Amanda dengan wujudnya yang mengerikan berdiri tidak jauh dari Miss Gigi dan menatap Ann dingin.
“Ann mau keluar!” teriak Ann sambil meronta tiba-tiba karena tidak tahan dengan tatapan Amanda yang mengerikan kepadanya.
Miss Gigi mencoba menenangkan Ann.
“Ann takut! Ann mau pulang!” teriak Ann sambil menangis.
“Ann, tenang Ann!”
Miss Gigi mencoba menenangkan, tapi tetap kesulitan. Ann berhasil lolos dari pertahanan Miss Gigi. Cepat-cepat Ann membuka ganggang pintu dan keluar ruangan. Nay terkejut melihat Ann keluar ruangan sambil berteriak-teriak dan menangis. Nay yang menyadari itu buru-buru menahan Ann lolos dan memeluknya kuat-kuat.
“Ada apa Bu Gigi?” tanya Nay kebingungan.
“Ann takut! Pulang! Ann mau pulang!”
“Ann tenang ya… Ann takut sama siapa?” tanya Nay yang malah jadi curiga dengan Miss Gigi.
“Tadi Ann bilang dia takut dengan yang meminta tolong dan mengganggu Ann. Tapi saat saya tanya mereka siapa, Ann langsung berteriak-terika mau pulang. Mungkin bukan sekarang waktu yang tepat untuk melanjutkan bicara. Sebaiknya Ann dibawa pulang dulu. Besok kita lanjutkan bicaranya.”
“Oh, begitu. Baik Bu Gigi. Terima kasih atas sarannya. Semoga besok Ann sudah kembali tenang dan bisa diajak bicara. Saya permisi untuk bawa Ann pulang.”
“Iya, mari. Hati-hati.”
Ann akhirnya Nay bawa pulang. Ann sempat mencuri-curi pandang ke belakang. Amanda masih berdiri di sana. Di belakang Miss Gigi. Ann tidak mengerti kenapa Amanda terus menghantui dan mengganggunya. Bahkan Miss Gigi dan Nay tidak menyadari keberadaan Amanda di sekitar mereka. Ini aneh buat Ann. Ia jadi curiga dengan dirinya sendiri yang bisa melihat orang mati. Ia merasa benar-benar hanya mengetahuinya sendirian. Dihantui sendirian dan ditakuti sendirian. Ann menjadi semakin takut.
Keesokan harinya Ann tidak mau masuk sekolah. Padahal ia tidak sakit. Ann takut Amanda mendatanginya lagi di sekolah dan terus meminta tolong dengan wujudnya yang mengerikan. Sebab yang sangat mengganggunya selama ini adalah Amanda. Nay berusaha membujuk berkali-kali tapi Ann tetap bersikukuh menolak. Akhirnya Nay membuatkan surat izin untuk Ann. Siangnya Miss Gigi datang ke rumah Ann bermaksud menjenguk. Nay mengizinkan Miss Gigi menjenguk, tapi tentu saja Nay selalu mengawasi. Ann terkejut Miss Gigi datang. Untungnya Amanda tidak ada di sekitarnya. Miss Gigi mendekati ranjang tempat Ann tiduran dan memberi Ann sekotak makanan dan buah-buahan segar. Ann buru-buru duduk dan bersandar ke kepala ranjang sambil memeluk boneka beruangnya.
“Ann sudah makan,” katanya yang belum-belum sudah menolak pemberian Miss Gigi.
“Ya sudah… bagus kalau sudah. Ini Miss Gigi berikan untuk Ann makan nanti malam. Ann sakit?”
Ann hanya menggeleng.
“Lalu kenapa tidak masuk sekolah?”
Ann lagi-lagi hanya menggeleng dan membuat Miss Gigi mendesah. Perempuan itu tersenyum, lalu mengusap puncak kepalanya.
“Setiap melihat kamu, Miss Gigi jadi kangen sama anak Miss Gigi. Dia sebesar kamu sekarang dan harusnya satu kelas dengan kamu. Setiap malam Miss Gigi selalu mengingatnya melihat fotonya. Dia mirip kamu. Pendiam, tidak banyak bicara, dan cuma punya satu teman, tapi temannya itu tidak bisa menjaganya. Miss Gigi juga sedih dan menyesal karena gagal menjadi ibu yang baik buatnya. Jadi setiap melihat kamu, Miss Gigi ingin menjadi orang yang bisa membantu kamu.”
Ann berhenti memainkan telinga boneka beruangnya saat wajah Miss Gigi berubah murung.
“Miss Gigi kok sedih? Kalau kangen kan tinggal bilang,” kata Ann yang responnya membuat Miss Gigi merasa didengar.
Miss Gigi mengusap puncak kepala Ann, “Maunya Miss Gigi juga begitu, Ann. Tapi tidak bisa.”
“Kenapa tidak bisa?”
Jawaban Miss Gigi membuat Ann teringat Amanda yang bilang kalau dia rindu ibunya, tapi juga sama-sama tidak bisa bilang sendiri. Hal ini sama seperti Miss Gigi dan itu membuat Ann penasaran. Padahal Miss Gigi masih hidup. Miss Gigi malah tersenyum, lalu merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah lembaran foto di dalam tasnya. Miss Gigi menunjukkan pada Ann.
“Ini anak Miss Gigi. Dia cantik seperti kamu,” kata Miss Gigi.
Ann mengambil fotonya dan melihatnya. Ann mengerjap beberapa saat, lalu membagi pandangan antara Miss Gigi yang tersenyum dan foto anak Miss Gigi. Tubuh Ann menegang.
“Dia sudah meninggal karena sebuah kecelakaan di dalam sekolah dua tahun yang lalu.”
Ann mengembalikan foto anak Miss Gigi kepada pemiliknya. Ann kembali memainkan telinga anak beruangnya.
“Miss Gigi nggak harusnya menyesal. Dia sangat menyayangi Miss Gigi. Miss Gigi sudah menjadi ibu yang luar biasa buat dia. Miss Gigi nggak boleh sedih lagi. Miss Gigi harus ikhlas seperti Ann ikhlas dengan kepergian mama dan papa, Ann. Makanya sekarang mereka tenang dan bahagia karena Ann ikhlas.”
Miss Gigi menggeleng, “Belum. Miss Gigi belum luar biasa untuk dia.”
“Tapi dia yang bilang begitu sama Ann!” tegas Ann membuat Miss Gigi mengerutkan kening dalam tidak mengerti mengapa Ann seyakin itu.
“Dia siapa Ann?”
“Amanda, anak Miss Gigi. Amanda meminta tolong Ann buat bilang itu ke mamanya.”
Mendengar nama anaknya disebut Ann sebelum dia memberitahu membuat Miss Gigi tersentak dan menatapnya nyalang.
“Amanda tidak suka melihat Miss Gigi sedih dan terus menangis. Amanda sangat menyayangi Miss Gigi. Buat Amanda, Miss Gigi adalah ibu yang luar biasa. Miss Gigi harus ikhlas.”
Sekarang Miss Gigi mengerti apa masalah Ann selama ini. Sekarang Miss Gigi mengerti apa yang mengganggu Ann dan membuatnya ketakutan. Ann selalu mendengar apa yang tidak orang lain dengar. Miss Gigi mengerti ‘mereka’ siapa yang Ann maksud saat di ruang BK waktu itu. Miss Gigi memeluk tubuh Ann erat dan menyadari bahwa dia telah salah meratapi anaknya berlebihan. Miss Gigi pun memutuskan untuk ikhlas.
Sementara saat tubuh Ann dipeluk, ia tiba-tiba melihat sosok Amanda berdiri dibalik tubuh Miss Gigi dengan wujud yang tidak menyeramkan dan tersenyum dengan Ann. Gadis kecil itu menyampaikan sesuatu sebelum akhirnya dia kembali ke rumahnya dengan tenang.
“Terima kasih, Ann… sekarang aku sudah tenang.”
Ann selalu mendengar.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar