Buat Aurel, matanya seperti tertusuk garpu saat setelah membaca nama Pradipta Ageng di file pdf kelompok Kuliah Kerja Lapangannya yang disingkat KKL. Isi kepalanya meronta-ronta minta tolong untuk protes saja supaya ganti kelompok, tapi logikanya membalas itu tidak mungkin jika tanpa memiliki alasan penting yang mengharuskan mereka dipisahkan.
Pihak program studi (prodi)-nya tentu tidak akan menggubris rengekan manja Aurel untuk dipisahkan dengan Dipta hanya karena perkara urusan pribadi mereka. Urusan tentang kenyataan bahwa Dipta adalah saingan berprestasinya dulu selama sekelas 3 tahun di SMA. Bukan cuma itu, sebutan teman bahkan rasanya tidak pernah melekat dalam dada mereka.
Sementara buat Dipta, kenyataan dirinya satu kelompok dengan Aurelia Malam Hari membuat tawanya meledak dan begitu bersemangat. Bayangan-bayangan akan sebetapa hebohnya Aurel berusaha menyaingi dan melawan dirinya itulah yang membuatnya bahagia. Dipta tidak ada masalah sama sekali bila harus berkelompok dengan Aurel selama kuliah lapangan 10 hari.
Itu justru akan menjadi tantangan dan hiburan penuh buatnya mengingat Aurel adalah saingan beratnya. Sudah dua setengah tahun lamanya Dipta tidak bersinggungan dengan perempuan itu. Meski satu prodi, keduanya tidak pernah kedapatan satu kelas lagi. Lantas KKL adalah momen yang tepat buat Dipta untuk mencongkel ingatan Aurel tentang apa yang pernah mereka lalui bersama di masa-masa SMA dulu.
Hal pertama yang Dipta lakukan saat hari keberangkatan melihat Aurel dari kejauhan adalah memotretnya dengan kamera yang sengaja ia bawa untuk dokumentasi pribadi kegiatan KKL nanti. Dipta mengakui perempuan itu terlihat begitu cantik kini dan lebih mampu merawat diri. Kulitnya sawo matang bersih, sudah tahu bagaimana mesti berdandan dengan wajar namun manis, dan setelah didekati akan tercium aroma tubuhnya yang wangi. Mengingat Dipta dulu sering meledek muka Aurel seperti pantat panci dan aroma tubuhnya bau bawang.
Sadar ada Dipta yang berdiri di samping Aurel saat baris untuk persiapan penerjunan KKL, mukanya yang tadi baik-baik saja langsung otomatis melengos dan serasa tidak sudi ada lelaki itu di sampingnya. Mengapa pula Dipta mesti mengisi tempat di sampingnya kala barisan lain masih dapat diisi, begitu kata isi kepalanya. Apa lagi tujuan lelaki itu kalau bukan untuk mengomporinya. Boleh Aurel akui dalam hati bahwa lelaki itu nampak begitu gagah berisi, tampan, dan wangi kini. Mengingat dirinya dulu selalu meledek tubuh Dipta seperti kerangka laboratorium IPA, mukanya seperti gembel, dan baunya seperti tikus mati.
“Gimana persiapan lo buat nyaingin gue lagi? Udah total?” Dipta memulai percakapan dengan sulutan api.
“Lo lihat sendiri perubahan gue. Udah buat lo megap-megap naksir belum?” jawab Aurel berlagak sombong.
Dipta terkekeh geli, “Pede banget lo! Hahaa… yang ada nih ya, kisaran dua atau tiga hari KKL, lo udah cinta mati sama gue.”
“Dih, sakit jiwa lo ya?!”
Dipta hanya tertawa saja tidak menggubris ledekan Aurel, lantas lebih memilih untuk fokus mendengar permulaan pidato dan imbauan yang diberikan oleh kepala prodinya Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) kepada mahasiswa. Seluruh mahasiswa PBSI yang melaksanakan KKL nanti diharap saat keberangkatan menggunakan motor berboncengan mesti saling memperhatikan keselamatan kelompok masing-masing yang telah ditentukan. Mereka juga diimbau untuk saling mengayomi, mampu bekerja sama, dan berlaku adil dalam tim. Jika ada pelanggaran fatal, akan ditindak sanksi dalam penilaian.
“Tuh, dengerin kuping lo. Mampu bekerja sama dalam tim. Bukannya malah menyaingi satu tim. Otak kompetitif sih lo!” bisik Dipta di dekat telinga Aurel.
“Lagaknya kayak otak lo bersahabat aja!” semprot Aurel ketus
“Inget Rel, ketus tanda tak mampu,” sinis Dipta.
Aurel menahan-nahan gejolak emosi dalam dadanya yang ingin sekali dia ledakkan pada Dipta. Ekspresi dan seluruh kata yang keluar dari mulut Dipta rasanya ingin Aurel bakar habis. Tapi ia sadar diri bahwa sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk melawan. Mahasiswa PBSI angkatan Aurel akan melaksanakan KKL di daerah Gunung Kidul, Yogyakarta. Kuliah lapangan ini masih satu satu kota dengan universitas mereka. Oleh karena itu, kendaraan mereka disarankan menggunakan motor agar pelaksanaan di lapangan nanti mudah.
KKL ini diadakan guna memenuhi mata kuliah microteaching dengan penerapannya di sekolah. Kegiatan ini didampingi oleh dosen pengampu mata kuliah. beberapa perwakilan dosen-dosen pendidikan, dan guru pembimbing KKLdari masyarakat nanti. Mereka disebar di beberapa bagian daerah Gunung Kidul dan menginap sementara di kepala desa daerah masing-masing.
Selain berlatih mengajar untuk anak-anak di pelosok sana, mereka juga dilatih untuk mengatasi problematika kurangnya fasilitas pendidikan, kurangnya motivasi belajar, dan kemampuan berbahasa anak-anak di daerah tersebut. Mereka sudah diberi pembekalan untuk merancang program pendidikan yang diteliti dan disetujui oleh dosen pengampu. Selain itu mereka juga diberi instruksi untuk menyumbangkan buku-buku bacaan di tempat mereka akan melaksanakan KKL.
Satu kelompok dalam kegiatan ini masing-masing berjumlah 6 orang. Aurel mendapat kelompok dengan nama Dipta, Sanusi, Dodo, Gita, dan Yuka. Seperti yang sudah disepakati pula sebelum hari keberangkatan, mereka diimbau untuk tiga motor saja yang beroperasi setiap kelompoknya. Jadi saling berboncengan.
Dipta sebenarnya satu kelas dengan Dodo, sementara Aurel satu kelas dengan Sanusi. Tapi indekos Sanusi berdekatan dengan Dodo yang otomatis mereka memutuskan untuk berboncengan saja. Sementara Gita dan Yuka juga teman lengket satu kelas yang beruntung bisa satu kelompok di KKL, oleh karenanya mereka memutuskan untuk tidak terpisahkan, tentu saja. Mau tidak mau, Aurel dan Dipta mesti lapang dada menerima kenyataan ini.
Jauh-jauh kuliah ke Jogja dari Tangerang, ketemunya Dipta lagi, Dipta lagi. Keluh Aurel dalam hati. Ketika teman satu kelompoknya di motor masing-masing bisa menikmati perjalanan dengan obrolan yang begitu seru, Aurel dan Dipta justru perang bisu. Aurel memilih menikmati kesunyian dan udara segar pedesaan saja sambil makan cokelat yang ia simpan di saku almamater ketimbang membakar tenaga untuk ngobrol dengan Dipta. Perempuan itu belum menyadari kalau dirinya sesekali dicuri pandang oleh Dipta lewat kaca spion sambil senyum-senyum. Cukup lama, sampai akhirnya Aurel sadar.
“Nyetir yang bener lo kampret! Malah ngeliatin gue. Senyam-senyum lagi. Udah mulai naksir gue kan lo!?” tembak Aurel setelah sadar Dipta memperhatikannya sambil menoyor bahu Dipta, percaya diri.
“Idih, kepedean. Lo tuh ngaca dong, makan cokelat tamunya ke mana-mana! Gigi depan lo tuh, sampai cokelat gitu. Illfeel gue,” Dipta membalas tembakan kata Aurel disertai tawa meledek.
Otomatis Aurel melongok ke kaca spion kiri dan mengecek gigi depannya. Omongan Dipta benar. Aurel sudah salah besar mengira Dipta naksir padanya Uh, malunya! Bego banget sih lo Aurel. Nggak lagi-lagi deh sok kepedan ngira Dipta naksir gue, batin Aurel. Ternyata, kesalahannya sendiri yang makan cokelat tidak bersih. Malunya Aurel mengalir dari syaraf kaki sampai ke syaraf otak. Dipta terbahak sepuas yang dia bisa lakukan. Aurel menyeka bibirnya dengan tisu yang juga ia simpan di saku almamater sebelahnya. Buru-buru juga ia bersihkan cokelat di gigi depannya. Rasanya mau menangis malu. Mana sampai Dipta bilang illfeel padanya pula. Aurel memaki-maki dalam hati.
“Bego!” ketus Aurel, jengkel pada Dipta.
“Elo kan?” tanya Dipta, memastikan.
“Iya gue, puas lo!” Aurel menyerah, sementara Dipta terbahak lagi. “Nyebelin lo!”
“Jangan terlalu sebel, nanti sayang…” goda Dipta.
Aurel menjiwit sebelah pinggang Dipta hingga membuat lelaki itu terkejut dan menepisnya dengan tangan kiri.
“Eh, nabrak Rel, nabrak!” panik Dipta diiringi sisa-sisa tawanya.
Aurel tidak menggubris lelucon Dipta lagi. Hatinya terlalu lelah kali ini. Ingin berhenti saja menyudahi segala pertengkaran yang pernah ia mulai bersama Dipta, tapi Aurel belum bisa. Tiap melihat muka Dipta rasanya selalu terpacu untuk menyainginya, bukan untuk bersikap baik padanya. Salah satu alasannya adalah sikap Dipta yang seperti tadi. Berawal dari membuatnya benar-benar merasa malu, lalu tiba-tiba membuatnya benar-benar terbawa perasaan. Aurel terlalu gengsi mengakuinya.
Sesampainya di rumah bapak dukuh yang akan mereka tinggali, Aurel yang berharap Dipta mengajukan permohonan maaf padanya justru malah begitu cuek dengannya. Dipta hanya menatapnya sekilas dengan biasa tanpa meninggalkan sepatah kata apapun. Dipta beranjak pergi bergabung dengan Sanusi dan Dodo. Dipta dan Aurel duduk berjauhan. Aurel benar kehilangan harap untuk dapat berhubungan baik dengan lelaki itu.
Dosen pembimbing lapangan mereka menyampaikan tujuan penerjunan program KKL kepada bapak dukuh guna mahasiswa dapat memperoleh ilmu, mengasah ketrampilan mengajar, dan kemampuan mengajar di sekolah dasar dan menengah yang sudah ditentukan oleh kampus sekaligus menitipkan mahasiswanya untuk berbaur dengan masyarakat.
Obrolan-obrolan mereka diisi dengan harapan-harapan baik, yang disampaikan dari pihak dosen dan juga bapak dukuh. Dosen pembimbing lapangan tidak melepaskan mahasiswa begitu saja. Pengawasan dilakukan oleh dosen yang bertugas menjenguk dan meneliti laporan hasil kerja mahasiswa, dosen pengampu sendiri, serta penilaian masyarakat. Dosen pembimbing memberikan arahan dan bimbingan singkat sebelum beralih menuju kelompok di daerah yang lain.
Kelompok Aurel diketuai oleh Dipta, sementara sekretarisnya Aurel. Perkara itu, mereka hanya diberi kepercayaan oleh teman sekelompoknya, sebab mereka melihat kemampuan keduanya saling salip menyalip dalam beropini. Saat diskusi perancangan program pembelajaran di lapangan saja mereka berdualah yang lebih sering berebut gagasan sampai susah sekali dijeda.
Lantas ketika presentasi pemaparan hasil perencanaan program pembelajaran di depan dosen pengampu, masih saja Dipta dan Aurel yang saling berebut asumsi untuk menadapat perhatian dosen saat dilempari pertanyaan. Dosen pengampu mereka sampai tertawa bangga menengahi.
“Sudah, sudah… cukup. Argumen kalian berdua hebat semua. Setelah ibu lihat dari penyampaian, struktural rencana aktivitas di lapangan, dan ide-ide rencana di luar dugaan ini bisa menjadi pembelajaran menarik kalian nanti di lapangan. Jadi harapan saya dalam tim kalian ya marilah saling kompak. Jangan berdebat argumen seperti tadi,” Bu Anik menunjuk Dipta dan Aurel yang saling senggol-senggol lengan menyalahkan.
“Jika memang di antara kalian memiliki ide yang begitu banyak, ya kumpulkan dan pertimbangkan pilihan tersebut dengan vote keputusan bersama dan pertimbangan fasilitas yang ada di lapangan. Saya rasa itu lebih adil, sehingga tidak menimbulkan rasa kesal pada tim karena pendapatnya tidak diambil. Jangan sampai seperti itu. Kerja sama, saling memahami, saling menghargai, dan ingat juga 2T 1M.”
“Artinya Bu?” tanya kelomopok Aurel kompak.
“Tolong, terima kasih, dan maaf. Mengerti?”
“Siap Bu!” seru Dipta mantap, ketika yang lainnya hanya mengangguk-angguk.
…
Selepas kelompok Aurel diserahkan dosen pembimbing kepada bapak dukuh, mereka diminta untuk menata barang bawaan di kamar yang telah disediakan, bersih-bersih diri, makan siang, lalu istirahat. Malamnya, selepas Isya mereka dikumpulkan dengan warga di rumah bapak dukuh guna mahasiswa memperkenalkan diri sekaligus penyampaian program kerja lapangan di sekolah.
Hari pertama kuliah lapangan mereka akan dimulai esok hari. Selepas serangkaian acara perkenalan dengan warga malam ini selesai, mereka mesti makan malam, lalu dilanjutkan istirahat. Besok mereka mesti bangun pagi sekali untuk observasi. Dipta baru saja selesai bersiap diri. Ia keluar kamar dengan rapi dan wangi. Tidak sengaja pandangan matanya mendapati Aurel telah siap juga untuk berangkat ke sekolah. Perempuan itu tengah berfoto seorang diri sambil duduk di kursi depan rumah pak dukuh.
Gita dan Yuka belum selesai berdandan dan masih ribet sendiri di kamar. Terdengar seberisik apa kehebohan mereka dari luar. Sementara Dodo dan Sanusi baru saja selesai mandi. Dipta berjalan mendekati Aurel yang tidak menyadari kedatangannya karena tidak tertangkap kamera maupaun terdengar langkahnya. Saat Aurel sudah memasang pose termanisnya, tiba-tiba Dipta mengacak sekilas rambut Aurel setelah memposisikan diri duduk di sampingnya dan menahaan tangannya di puncak kepala Aurel.
“Diptaaaa…” keluh Aurel sambil menepis tangan lelaki itu.
“Barusan itu pengganti ucapan selamat pagi dari gue buat lo,” jawab Dipta, jujur.
“Halah, biasa aja. Udah nggak ketipu gue sama trik-trik iseng lo. Udah terlatih,” cuek Aurel sembari sibuk memilah foto-fotonya yang bagus untuk disimpan, lalu yang kurang bagus untuk dibuang.
Dipta hanya tersenyum lembut meski tak terbalas.
“Dua setengah tahun kita nggak sama-sama. Cukup lama. Ternyata selama itu, gue kangen lo, Rel,” lagi-lagi Dipta berkata jujur disertai senyum lembut yang masih belum hilang dari air mukanya.
Aurel sempat melirik Dipta sekilas, masih menahan diri untuk tidak terbawa perasaan apalagi sampai terjebak oleh kata-kata Dipta yang selalu membuatnya bingung harus percaya yang mana.
“Masih biasa aja, Dip. Kurang jago lo!” balas Aurel, memilih bertahan, sementara ia dengar Dipta tertawa.
“Siapin hati lo, Rel. Lo akan menghadapi gue dalam 10 hari ke depan mulai dari hari ini. Siap-siap cinta mati sama gue, Rel,” ucap Dipta bersemangat, lantas menutup percakapan dengan mencapit ujung hidung kepala Aurel gemas, lalu bergegas pergi untuk memanaskan motor tanpa peduli bahwa pipi Aurel merona, malu.
Seketika itu juga pertahanan hati Aurel runtuh. Dalam hatinya ia bersikeras pada dirinya sendiri untuk tidak terpengaruh rencana Dipta kepadanya. Ya, Aurel harus berjuang melawan! Mantap Aurel. Suara klakson motor Dipta yang tertuju padanya sungguh mengagetkan Aurel. Lelaki itu mengisyaratkan Aurel untuk cepat memboncengnya karena anak-anak lain sudah mulai berkumpul untuk berangkat ke sekolah pertama yang akan mereka kunjungi. Setelah Aurel menaiki motornya, kedua tangan Dipta terulur ke belakang meraih tangan Aurel untuk berpegangan padanya. Menyadari itu, spontan Aurel menghempas jengkel tangan lelaki itu sambil memaki-makinya.
“Apaan sih lo, Dip! Ganjen!”
”Lo nggak liat apa? Gita sama Yuka sama-sama safety, Sans sama Edo juga iya. Gue kalau naik motor ngebut loh.”
“Bodo amat! Ga sudi gue!"
“Oh, ya udah oke. Tanggung sendiri akibatnya kalau lo tiba-tiba jengat ke belakang!”
“FINE!"
Dipta pun muenyalakan mesin motornya dan ngegas tidak kira-kira sehingga membuat Aurel mesti memeluknya dari belakang karena hampir terjatuh ke belakang. Sadar Dipta sukses menjahilinya dan lelaki itu menahan tawa, ditoyorlah kepala Dipta dari belakang, lalu berkata, “Fuck boy lu! Attitude ga disekolahin ya?”
Dipta terbahak, “Cailah, kelepasan dikit doang tadi. Ga sengaja. Galak amat. Makanya Mbak Aurel Malam Hari, silakan safety diri. Jalanannya ga bagus soalnya.”
Aurel tidak menjawab. Spontan saja aurel berpegangang pada tas Dipta. Hari Pertama, kegiatan observasi dan pengenalan mahasiswa KKN di SD Bina Nusa. Mereka didampingi salah satu guru di sekolah tersebut untuk observasi keadaan sekolah, fasilitas, perpustakaan, siswa-siswanya, dan lain sebagainya. SD yang mereka kunjungi kondisinya cukup memprihatinkan.
Gurunya hanya berjumlah 3 orang, bahkan ada yang tidak betah lantas memilih untuk pindah kerja ke sekolah lain. Buku-buku bacaan siswa sedikit, ruang kelasnya selalu bocor jika hujan, ruang kelas kurang terawat, dindingnya kumuh, serta kurangnya motivasi belajar dari peserta didik yang ada di sini. Hanya ada dua kelas di SD ini.
Guru pembimbing mereka, Bu Anjar, menjelaskan bahwa kelompok mereka akan dibagi menjadi dua. Jadi, tiga anak di kelas A, kemudian 3 anak lagi di kelas B. Saat menjelaskan tentang itu. Yuka dan Gita buru-buru mengajak Aurel untuk satu tim dengan mereka di kelas A. Tentu saja Aurel ikut girang. Sayangnya, Bu Anjar menjeda. Olehnya, Aurel dikelompokkan dengan Dipta dan Sanusi, sedangkan Dodo masuk ke kelompok Yuka dan Gita. Ini perintah dari dosen mereka, Bu Anjar tidak ingin berbohong perkara ini dengan dosen mereka.
Hari ke dua, satu kelompok menyusun rencana-rencana, program kerja, dadakan yang diakibatkan karena kondisi sekolah yang di luar dugaan. Di hari kedua itu juga mereka sudah mulai memperkenalkan diri kepada siswa di kelas A dan B. Dan sudah mulai menggantikan guru-guru mengajar dalam beberapa hari ke depan.
Hari ke tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan mereka mulai memfokuskan program kerja mereka di sekolah. Baik yang akademik maupun non-akademik. Selain mengajar, di tengah-tengah sesi pembelajaran, mereka juga memberi ice breaking atau permainan kelompok agar tidak bosan dan juga motivasi untuk memiliki cita-cita dan semangat belajar yang tinggi.
Para mahasiswa juga bergotong royong menciptakan suasana kelas menjadi nyaman. Meminta tolong warga membenahi atap yang rusak, membantu mengecat tembok-tembok yang terlihat kumuh menjadi lebih bersih dan baru. Mahasiswa laki-laki membantu pengecatan, sementara mahasiswa perempuan membuat ketrampilan origami di musala dekat SD untuk dipasang di dalam kelas nanti.
Selain origami, mereka juga diminta untuk menggambar tema bebas. Mereka yang suka menulis puisi, cerita juga diminta untuk membuatnya dan menghiasnya denggan pita dari kertas atau kain. Mereka juga dilatih seni menggambar dan menyanyi. Boleh menggambar poster, pemandangan alam, batik, atau apapun yang mereka bisa mereka kerjakan
Seringkali Aurel mencari-cari keberadaan Dipta di mana, lalu memandanginya beberapa detik untuk memuaskan rasa penasarannya saja sedang apa dia. Terkadang tidak disangka Aurel juga kalau Dipta duluan yang menatap ke arahnya. Biasanya kalau sudah sama-sama ketahuan seperti itu, salah satu dari mereka pasti akan langsung pura-pura tidak peduli atau melengos cuek.
Bukan hanya itu. Satu hal yang Aurel tidak tahu adalah Dipta sering mengaabadikan sosok Aurel ke dalam lensa kamera pribadinya. Pernah sekali, hampir ketahuan. Dalam sendirinya juga, Dipta pandang ulang hasil foto candid Aurel di kameranya sambil senyum-senyum sendiri. Sampai pernah kepergok bapak dukuhnya, Pak Arif.
Tapi untungnya Pak Arif bisa menjaga rahasia. Tapi gara-gara itu, Dipta dan Aurel jadi sering dijahaili Pak Arif supaya sama-sama salah tingkah dan berhasil. Tapi dalam hati, Dipta berterima kasih pada Pak Arif yang telah membuat 10 harinya bahagia. Disisi lain, Aurel sebenarnya juga sama bahagianya, tapi gengsi untuk menunjukkan kode-kode pada Dipta. Biasanya, jatuhnya Aurel malah diolok.
Hari ke sepuluh, mahasiswa KKL menutup segala kegiatan dengan makan tumpeng bersama di rumah pak dukuh. Semacam syukuran karena sekolah dekat perdukuhan sudah cukup layak menjadi motivasi tempat belajar siswa menjadi seru dan tidak membosankan. Setelah doa bersama, kemudian irisan tumpeng pertama kali diberikan kepada bapak dukuh dan orang-orang penting yang berkontribusi dalam membantu mahasiswa, selanjutnya warga dan anak-anak mengikuti pengambilan tumpeng Sampai-sampai mahasiswa hampir kehabisan tempat untuk duduk.
Diliharnya oleh Aurel kalau Dipta duduk sendiri di luar salah satu sudut rumah pak dukuh. Aurel beranjak mendekatiya Perempuan itu datang tanpa mengeluhkan apa-apa seperti biasanya. Ia hanya duduk tenang, lalu meneguk sirup di gelasnya.
“Ngapain ke sini? Temen-temenmu di dalam semua tuh!” ucap Dipta yang tak bermaksud mengusir, justru senang sembari mengunyah makanannya.
Aurel tidak menjawab pertanyaan Dipta, melainkan malah mengeluhkan hal lain, “Wah, gila ya, nggak kerasa 10 hari terasa secepat naik roller coaster.”
“Bikin pusing dong?”
“Iya, pusing. Pusing garap laporan dan pusing sama sikap lo yang aneh-aneh itu!”
Dipta terbahak, ‘Habisnya lo nggak peka. Gue udah pernah bilang berkali-kali sama lo kok, tapi lo nggak pernah peduli itu dan menganggap apa yang gue katakan bercanda.”
Aurel menatapnya, lantas Dipta tersenyum lembut. Sayang dan rindulah yang sering Dipta katakan unruk Aurel, ya, tentu saja Aurel masih mengingatnya.
“Lo sadar nggak sih Dip? Kalau kata-kata lo itu sering ngebuat orang merasa jatuh, tapi tiba-tiba dibawa terbang tinggi. Dan itu rasanya nggak enak banget. Gue ngerasain itu ke lo, tapi gue bingung harus ngadepin elonya gimana.”
“Sekarang gue ngerti Rel kalau komunikasi itu penting. Makasih ya.”
“Gue juga Dip, sama-sama.”
Keduanya tersenyum lembut. Dipta mengulurkan tangan persahabatan dengan Aurel yang langsung di raih olehnya.
“Ada satu hal lagi yang belum lo tahu dari gue, Dip,” ucap Aurel.
“Apa tuh?”
“Gue juga sayang sama lo,” jujur Aurel disertai senyum manis.
Dipta membalas senyumnya, lalu mengusap puncak kepala Aurel gemas, seperti biasanya. Kali ini diterima, tidak ditepis. Kali ini juga Aurel banyak senyumnya. Itu tertanda, Aurel sudah membuka gerbang hatinya untuk Dipta.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar