Postingan Rekomendasi

Tentang Penulis

Hai! Salam kenal kepada yang telah menyempatkan diri untuk membaca tulisan-tulisan random ini. Haricahayabulan merupakan nama pena saya. ...

Minggu, 26 April 2020

"Mbak, Aku Dulu!"

 
 
Sebut saja dia. Eaakk... dia siapa?

Saya teringat oleh seorang murid mengaji TPA. Dia seorang laki-laki, masih SD. Iya dia. (Kirain dia siapa?). Zonk. Dalam hidup ini nggak selamanya kata "dia" dipermaksudkan untuk doi yang begitulah. Paham sampai sini? Oke, lanjut gaes. Kesan pertama ketika saya ajak mengaji, anak-anak masih saling lempar pandang dan tunjuk-tunjukkan supaya temannya dulu yang mengaji.

Yang ujung kiri bilang ujung kanan dulu, yang ujung kanan bilang ujung kiri dulu, yang tengah bilang ujung kanan-kiri dulu. Gitu saja terus sampai Bus Trans Jogja berubah jadi Transformer. Tapi, seketika semua berubah saat "dia" angkat tangan dan bilang.

"Mbak, aku dulu."

Mantap.... dalam hatiku. Aku tanyalah ke dia sampai mana ngajinya. Dia jawab sampai surah Al-Anam. Ketika dia tengah mempersiapkan Alquran-nya, dia bilang begini.

"Sebentar Mbak. Aku punya target. Kemarin aku tuh ngaji sampai ayat 15. Berarti sekarang..." ngitung target ayatnya. "Berarti sekarang aku ngaji sampai ayat 40 Mbak."

Batinku, mantap kali bocah ni. Kecil-kecil udah punya target 25 ayat per hari. Lumayan loh target 25 ayat untuk anak kecil. Itu udah luar biasa banget mau disuruh ngajinya juga. Beda. Target kalian yang udah balig, berapa ayat hayoo? Mengetuk batin, jiwa, dan raga atau tidak ini?

Aku kecil seumuran dia ngaji sama bapakku nggak mau banyak-banyak, kena marah kalau salah. Salahnya banyak lagi wkwkwk. Tapi ngajinya tetap banyak karena dipaksa. Selesai ngaji pasti nangis, pasti nangis, pasti nangis, pasti nangis, pasti nangis. Nggak bisa lari aku, guru ngajinya aja bapak sendiri. Zaman dulu cuy, pendidikan keras. Tapi sekarang udah mengerti bahwa hasilnya cakep. Secakep bapakku.

Tidak hanya ditarget. Mantapnya bocah satu ni yang membuat saya batin dua kali adalah bapak dan ibunya kayak apa ya? Ketika dia keliru membaca lafadz yang mestinya disamarkan, tapi dia baca jelas dan saya ingatkan, disitu tiba-tiba dia bilang.

"Oh iyaa ikhfa. Ikhfa, ikhfa dibaca samar. Siap Mbak!"

Padahal saya belum ngomong apa-apa. Baru negur suruh perhatikan ayatnya dulu. Dia ingat-ingat sendiri dan langsung nyeletuk sendiri. Kemudian di tengah-tengah mengaji dia berhenti sebentar cuma buat nyeletuk lagi.

"Oh... disini ternyata banyak mad jaiznya ya Mbak. Ya ya ya."

Terus dia lanjut lagi. Ternyata di setiap bacaan, dia mengamati letak-letak tajwidnya dan itu menunjukkan bahwa dia membaca Quran tidak sekadar membaca dan tidak hanya sekadar lancar/cepat, tapi juga benar-benar memahami, memperbaiki, dan memperbagus pelafalan yang seharusnya dibaca "dengan hati" dan "hati-hati".

Secara spontan, saya berpikir bahwa dia anak yang keren. Semua murid ngaji TPA keren sih, maksudnya dia yang paling cetar gitu di antara cowok-cowok lainnya. Jarang banget cowok macam ini di luar anak pesantren.

Ketika dihadapkan murid seperti ini tuh rasanya mengetuk batin, jiwa, dan raga saya. Anak kecil yang saya temukan ini saja paham tajwid, apalah kita yang sudah dewasa ini mestinya juga sudah paham dan lancar mengajinya. Bukan membandingkan, melainkan mengingatkan akan kesadaran kita sebagai umat muslim yang kece badai ini terasah. Jika merasa belum bisa/terbata dalam mengaji, maka belajar kepada orang-orang yang bisa mengaji di sekitar Anda.

Jangan gampang merasa puas dengan kecepatan mengaji. Apalah arti cepat, jika lafadz yang dibaca keliru. Karena seorang ustad favorit saya (Ustad Adi Hidayat) pernah mengatakan, "Kekeliruan bacaan tajwid pada saat mengaji itu bisa membelokkan makna sebenarnya. Panjang-pendek suatu bacaan yang keliru pun sama halnya." Sebenarnya bukan hanya kata beliau doang sih, tapi juga kata guru agama saya di SMP, SMA, teman saya yang belajar di pesantren pun semua pernah menyampaikan demikian.

Jadi gini, kita itu mau mengaji, bukan mau balap motor. Jadi, ya woles aja. Nikmati aja kayak minum kopi bareng temen-temen. Sama-sama lah ayok kita belajar! Kalau memikirkan gengsi, kita tidak akan pernah belajar dan bisa. Malulah kita ini jika hanya berada disitu-situ aja (stagnan) dan nggak menambah ilmu akhirat. Malu sama siapa? Sama Allah gaes.

Power ranger aja berubah, masa kita enggak. Jangan kalah sama Power Ranger. Kita juga mesti punya "power" sendiri. Jadi, intinya apa?

Sebagai umat Muslim yang keren dan kece badai, marilah kita sama-sama untuk terus:

"Belajar Mengaji Tanpa Gengsi".

Itu doang sih intinya.

“Yuk hijrah, yuk Muhasabah!” :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar